CERMIN RETAK
Sulit rasanya untuk menceritakan sesuatu yang hanya bisa kita rasakan dalam
hati. Menggambarkannya pada orang lain dengan jujur tanpa harus menambah dan
mengurangi, sehingga mereka benar-benar bisa merasakan dan memahami apa yang
sebenarnya terjadi tanpa ada prasangka akan subyektivitas kita dalam bercerita.
Tapi walau bagaimanapun patut rasanya untuk dicoba. Hasilnya memuaskan atau
tidak itu terserah anda.
Seorang teman
sekaligus tetangga, sebut saja Bu Ghalina. Bekerja sebagai karyawan di sebuah
perusahaan swasta. Suaminya adalah seorang guru. Penampilan fisik Bu Ghalina
ini cukup menarik, perawakan sedang dan memakai jilbab setiap hari sebagai
tanda iman yang terpancar dari caranya berbusana. Tutur katanya halus dan
jarang terlihat emosi spontan yang pernah ia perlihatkan pada umum. Tak
sekalipun kata-kata kasar keluar dari mulutnya Mereka sekeluarga tak banyak
bergaul dengan tetangga. Tapi punya reputasi yang cukup baik di lingkungan
sekitarnya. Tapi entah mengapa ada rasa gamang menyelinap di hati. Benarkah ia
sesopan dan sealim penampilannya. Aku kurang tahu masalah agama tapi tidak juga
berarti buta sama sekali. Ada beberapa respon sosialnya yang menurutku terlalu
mengelabui dan membuat hatiku bertanya-tanya. Mudah-mudahan cerita ini juga
bukan sebagai curahan hatiku yang penuh subyektivitas. Hanya sebagai cara
berbagi dengan harapan bisa terpetik sebuah sari yang bisa menjadi pelajaran
diri.
Masih lekat di
dalam ingatan, sebuah kalimat yang muncul dari mulutnya yang halus. ”Wajar Bu,
dia terkena guna-guna seperti itu . Soalnya dia kan tidak pernah sholat. Jadi
sulit untuk menghindar dari hal-hal Ghaib seperti itu. Istilahnya dia ngga ada
pertahan. Bukan apa-apa lho bu, tapi menurut saya memang begitu keadaannya”.
Ketika itu ada dari salah satu rekan kami yang sedang sakit, yang entah
bagaimana ceritanya, gosip yang tersebar adalah si rekan ini tadi terkena
guna-guna, bahwa penyakit yang dideritanya bukan penyakit medis. Rasa prihatin
yang mewarnai obrolan kami waktu itu kurasa memudar tiba-tiba dengan kalimat Bu
Ghalina. Kalaupun apa yang dibicarakannya benar, bukankah yang berhak menilai
ibadah seseorang itu hanya yang Kuasa. Aku merinding mendengarnya. Lewat
pembicaraan itu aku malu sama Allah, bukankah sholatku juga kadang-kadang tak
bermutu. Kurang khusu’ atau tidak sama sekali. Bahkan seringkali hanya gerak
badan simbolik minus makna, karena dalam lafal Al fatihah yang kubaca yang
muncul hanya pikran-pikiranku mengenai masalah di dunia. Astaghfirullah. Lalu
akan pergi kemana aku dengan sholat yang begitu tak bermutu?.
Menurut Bu
Ghalina semua dosa pasti akan dibalas oleh Allah, sehingga setiap ada musibah
yang menimpa sahabat, yang dia kemukakan ”Mungkin itu adalah dosanya, kurang
amal sih, jadi kemalingan deh tuh, rasain akhirnya Allah mengambil juga dengan
paksa, Makanya Bu, jangan pernah lupa sodaqoh dan berinfaq, supaya kita jauh
dari kejadian yang dialami oleh si Parti”, katanya berapi-api seolah ustadzah
yang sedang ceramah. Sekali lagi aku bergidik. Selama ini aku selalu pelit.
Bukan berarti aku tidak mau beramal, tapi aku masih merasa kekurangan untuk
memenuhi kebutuhanku sendiri. Tuhan, beri aku ampunan. Kapan aku beramal kalau
aku harus menunggu berlebih. Manusia tak akan pernah puas. Tak pernah mencapai
puncak. Selalu muncul puncak puncak yang lebih tinggi ketika kita meraih satu
puncak tertentu. Ah, harusnya aku mulai berbagi. Lebih dari sekedar senyum dan
amal amal kecil yang keberikan pada para peminta dana. Itupan hanya recehan
yang tak ada harganya. Kalau bukan karena Bu Ghalina aku mungkin tak akan
pernah ingat bahwa sesungguhnya hartaku yang sebenarnya adalah yang aku berikan
pada mereka yang papa. Dalam hati, aku bertanya ”Apakah Bu Ghalina juga selalu
bermurah hati dan berbagi rezeki dengan siapa saja? Alangkah bahagianya dia,
dikaruniahi harta yang berlimpah sehingg bisa membaginya dengan orang-orang
yang membutuhkannya.
Banyak dari
kata-kata Bu Ghalina yang membuat aku bercermin dan berusaha mencoba untuk
introspeksi diri. Sudahkan aku menjadi baik seperti apa yang dikatakannya?
Pernah suatu saat ada rekan yang sedang mendapat rezeki. Dia berusaha membagi
rezeki yang dia peroleh dengan cara mentraktir rekan-rekan kami makan di
kantin. Satu persatu si
rekan ini bertanya pada setiap orang, mau pesan makanan apa dari kantin.
Tawaran itu juga diberikan pada Bu Ghalina yang baru saja memasuki ruangan. ”Bu
Ghalina mau pesan apa?” tanya si pembagi rezeki dengan bahagia. Bu Ghalina menjawab, ”Eh, tunggu
dari uang apa?” tanyanya menyelidik. Si rekan menjawab tanpa prasangaka, ”Ada
deh”. Masih dengan wajah menyelidik,” Uang apa dulu?” Ngga mau saya makan dari
uang yang tidak jelas dari mana datangnya. Untung si rekan ini punya sense of
humor yang bisa diacungi jempol. Dengan santai dia menjawab, ” Oh, tenang, uang
halal kok”. Percakapan singkat yang sebenernya aku tak ikut terlibat langsung,
tapi cukup membuat aku bergetar. Sanggupkah aku mengajukan pertanyaan yang sama
dengan yang ditanyakan oleh Bu Ghalina tadi kepada setiap orang yang menawari
aku makan? Mungkin maksudnya untuk menjaga diri dari masuknya makanan haram ke
dalam aliran darahnya. Etika sosialku menolak vulgarnya cara untuk menunjukkan
bahwa kita beriman. Apakah kita harus berusaha memberitahukan kepada orang lain
bahwa kita beriman, dan selalu memakan makanan bersih dan halal. Aku iri pada
si rekan yang sanggup menanggapi tanya yang cukup riskan . Aku iri juga pada Bu
Ghalina yang begitu kukuh dan siaga supaya tak masuk makanan semabarang ke
dalam aliran darahnya. Aku bertanya pada Allah, Apakah aku cukup pantas untuk
mengaku sebagai makhlukMu? Apakah aku cukup pantas menjadi umatmu yang baginda
Rasululah. Terimakasih Ya rabb, Kau telah mengingatkan aku lewat percakapan
sederhana mereka.
Aku tak henti-hentinya bersyukur pada Allah mempuyai teman seperti Bu
Ghalina. Di sebuah pagi yang mendung, kebetulan kami bersama sama naik
kendaraan umum menuju tempat kami bekerja. Dalam guncangan kendaraan butut yang
ditambah dengan kondisi jalan yang memprihatinkan, Bu Ghalina memulai
ceritanya, ”Eh, tadi saya malam takut banget. Anginnya kencang sekali,
sampai-sampi tiang besi lapangan bulu tangkis yang ada di depan rumah saya
bergoyang-goyang, miring kiri-miring kanan. Pokoknya ngeri.” Aku yang memang
tidak tahu bahwa semalam terjadi angin kencang menjawab dengan santai, ” Oh Iya
Bu, aduh semalam saya tidur sih, saking nyenyaknya sampai ngga kedengeran tuh.
Emang jam berapa?’. Bu Ghalina menjawab dengan volume suara yang didengar oleh
semua orang yang naik kendaraan umum itu. ” Jam dua malam Bu, waktu itu aku
sedang sholat tahajud, makanya saya keluar sebentar untuk melihat keadaan”. Nah
Lho? Rasa bertanyaku dalam hati, mengapa dia harus bercerita seperti itu di
depan umum, serasa memenuhi dada. Bukankah itu Riya’ namanya. Apalagi?.
Tapi Astaghfirullah aku segera mengganti pertanyaan itu dengan rasa
syukur. Oh iya, sudah lama aku tidak menunaikan sholat tahajud. Apalagi
semalam?. Bukankah angin kencang yang di bilang semalam akan berbahaya kalau
menjadi angin badai. Dan itu berarti aku akan kurang berantisipasi kalau tidak
dalam keadaan terjaga. Itu berarti aku akan tergolek menghadapi maut dalam
keadaan yang tidur lelap dibuai mimpi. Tak seperti Bu Ghalina. Dia sedang dalam
sholat malamnya. Untunglah kejadiannya tidak demikian. Dan aku? Tidak salah
rasanya apabila merasa iri dan tersaingi oleh bu Ghalina karena rajin
ibadahnya. Tak apa, Aku mensyukurinya dalam hati. Bukanlah Sang Nabi
menganjurkan supaya kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Ah... Aku juga harus
rajin sholat tahajud. Insya Allah.
Memang kuakui
bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi kalau
kita menggunakan kelemahan orang lain agar tidak menjadi kelemahan kita sendiri
merupakan usaha yang pantas dipertahankan. Kelemahan yang paling membuat
merinding bulu roma adalah penyakit hati. Penyakit nonmedis ini juga sulit
untuk dicari obatnya. Semoga tak pernah berani penyakit itu bersarang dalam
hatiku. Naudzubillah. Kembali aku mendapatkan pelajaran dari Bi Ghalina
dalam hal ini. Setiap ada rekan kerja yang mendapat rezeki yang besar, seperti
membangun rumah atau membeli mobil dan sebagainya.Ada saja komentar miring yang
keluar dari mulutnya. ”Kita kan sama-sama pegawai biasa. Kita saling tahu gaji
kita masing-masing, darimana kali dapat uang buat bikin rumah gedung dan mobil
mewah. Korupsi kali, Astaghfirullhalazim, jahat sekali saya ya, menuduh
orang lain korupsi, tapi bukan apa apa sih, memang begitu kali. Gaji kita
sebagai pegawai berapa sih? Semua orang juga tau.”
Tak ada secuilpun rasa turut bahagia ketika orang lain mendapat berkah
dariNya. The negatif thingkingnya, bahwa
semua orang salah, hanya dia sendiri yang benar. Semua orang banyak dosa kecuali dia sendiri yang
suci. Semua orang makan uang haram, kecuali dia sendiri yang mendapat rezeki
yang penuh berkah dan rahmat dari Allah.
Aku mengeluh
dalam hati. Jangankan sampai terucap, menuduh dalam hatipun sudah merupakan hal
yang tak dibolehkan oleh sang Nabi. Ya Tuhan, terimakasih telah Kau beri aku
peringatan.
Entah mengapa
aku merasa perlu berhati-hati bicara dan bergaul dengan Bu Ghalina. Tutur
katanya yang manis kadang-kadang seperti menipu. Penampilan yang alim dan
perhatian serta penuh simpati pada musibah yang diterima oleh orang lain
terlihat begitu meragukan. Begitu ingin di perlihatkan pada orang lain.
Seolah-olah ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dia adalah sang sosialis
yang penuh iba pada orang lain. Aku jadi teringat pada ajaran Sang Rosul. Jika
tangan kananmu memberi, Jangan sampai tangan kirimu mengetahui. Ya Rosulku….
Aku begitu takut kalau-kalau aku setiap hari selalu menghitung-hitung jumlah
kebaikan yang telah aku buat. Aku ingin selalu mengeingat kesalahan yang sudah
pernah aku lakukan. Semoga terpacu semua syaraf di jiwa, bahwa dosa-dosa masih
banyak bergelantung di pelupuk mata. Maka janganlah aku pernah menambah
tumpukan dosa dengan membicarakan aib dan kesalahan orang lain. Apalagi hanya
berbicara berdasarkan gelapnya syak wasangka dari hati yang muncul karena iri. Naudzubillah.
….
Sebuah pagi
hari Minggu yang cerah, kami para tetangga saling bercengkerama sambil
membersihkan jalan dan got di depan rumah masing-masing. Tak bermaksud untuk
bergosip pagi-pagi, tapi kami hanya mengobrol dengan suara agak keras karena
masing-masing berada di jalan depan rumahnya sendiri-sendiri. Para bapak sedang
mengorek-ngorek got karena memang kemarin ada surat edaran dari ketua RT bahwa
Minggu pagi ini kita harus melaksanakan kerja bakti di lingkungan rumah kami
masing-masing. Walaupun agak jauh, tapi aku melihat Bu Ghalina dan keluarganya
juga melakukan hal yang sama dengan kami.
Tiba-Tiba terdengar suara ribut-ribut dari ujung gang. Seorang ibu
berteriak teriak dengan marah. Semua mata tertuju pada sumber suara. Ternyata
pemilik suara itu adalah ibu Martha yang tinggal di RT 02. Bu Martha berdua
bersama suaminya menuju rumah Bu Ghalina. Wajah Bu Martha merah jelas
menampakan kemarahan yang amat sangat. Tanpa sadar kaki kami semua para
tetangga melangkah mendekat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
” Bu Ghalina
dan Pak Shobri, sepertinya anda berdua orang yang alim, berpendidikan tinggi,
terpandang di lingkungan ini, tapi kenapa kelakuan anda begitu rendah”. Bu
Martha langsung menyeburkan kata-kata yang panjang ke arah keluarga Ghalina.
”Apa maksud Bu
Martha?’, tanya Bu Ghalina tak mengerti.
”Jangan
pura-pura tidak tahu”, sela Pak Robi, suami Bu Martha.
”Tapi jangan
marah-marah dulu, mari silahkan masuk, ga enak dilihat tetangga,” Ajak Pak
Sobhri.
” Tak usah.
Lagian sekalian biar hal ini menjadi pelajaran bagi semuanya. Biar mereka tahu
apa yang sudah anda lakukan. Begini Pak Sobhri, kenapa Bapak ingin membayar
lunas rumah di ujung sana. Padahal Bu ghalina tahu bahwa rumah itu sudah mau
saya beli. Bahkan saya sudah memberikan DP lima juta rupiah. Tega sekali Bu
Ghalina ingin mendahului saya dengan merayu Pak satya”.
”Saya bisa
jelaskan Bu,..” terbata-bata Bu Ghalina menjawab dengan wajah yang pucat pasi.
” Saya kesini
bukan untuk minta penjelasan. Saya tahu betul apa yang sebenarnya terjadi,
karena Pak Satya menceritakan pada kami. Bagaimana keluarga ibu datang ke
rumahnya untuk membeli rumahnya. Pak Satya mengatakan bahwa rumah itu sudah
laku. Katanya malah ibu dan Bapak bersedia melebihkan harga asalkan rumah itu
dijual pada sampeyan berdua, wong Jawa tapi kok ora ngerti tata krama”.
Saya hanya bermaksud menegur sampeyan berdua. Perbuatan macam begitu
sungguh jahat dan hina. Saya yang bercerita sendiri pada anda bahwa saya sudah
membayar DP rumah itu. Tapi kenapa dengan teganya sampeyan berdua datang
ke rumah Pak Satya dan mengatakan bahwa Bu Ghalina dan Pak Sobhri bersedia
membayar lebih lima juta, dari harga jadi yang diberikan Pak Sobri ke saya?”.
”Ooohh..jadi
begitu ceritanya’, gumam para warga yang sedari tadi diam membaca suasana,
sekarang mulai mengangguk-anggukkan kepala tanda paham terhadap persoalan. Ada
yang mengatakan, ”Oh memang Bu Ghalina dan suaminya yang salah”. Sementara yang
lain hanya mengiyakan sambil terus melihat apa lagi yang akan terjadi. Ada yang
bergumam ”Tega banget ya, Bu Ghalina dan suaminya, padahal kan mereka berasal
dari daerah yang sama”.
Sementara bu
Ghalina kelihatan pucat, tak bisa berbicara apa-apa. Suaminya terlihat gagap
mau berbicara, ”Kami……..”,
Tapi Pak Robi
segera menghentikan satu kata yang baru keluar dari mulut suami Bu Ghalina,
”Kami hanya bermaksud mengingatkan Bapak dan Ibu, jangan sampai kejadian ini sampeyan
lakukan pada orang lain. Untung Pak Satya adalah orang yang paham akan ajaran
agama. Dia merasa sudah deal dengan saya mengenai jual beli rumah itu,
jadi berapapun uang yang akan ibu suap ke Pak Satya, tak akan berhasil. Sungguh
saya bahagia masih ada orang-orang seperti Pak Satya. Tapi saya juga sedih,
mengapa masih ada orang-orang seperti sampeyan berdua,’ nada bicara Suami Bu
Martha lebih tenang. Tapi masih sarat dengan amarah. ”Sudah Bu, ayo kita
pulang, tak ada gunanya kita berlama-lama di sini”, kata Suami Bu Martha
sembari menggandeng tangan istrinya. Mereka berjalan menjauh tanpa
menoleh-noleh lagi. Tak juga bersapa dengan kami.
Warga yang sedari tadi terpaku, merasa terkejut dengan ending
tiba-tiba dari Pak Robi. Segera masing-masing melangkah pergi dan berjalan
menuju rumah masing-masing sambil berbisik-bisik. Rata-rata mencibir dan
menyalahkan keluarga Ghalina. Masih terkejut dengan reality show ironis
yang penuh konflik, tapi ending yang terlalu cepat dan gamang.
Termasuk aku.
Berjalan dengan segala macam pikiran menggayut di kepalaku. Sejahat itukah Bu
Ghalina?. Selama ini aku bercermin padanya. Apakah ini jawaban atas pertanyaan
dan kegamanganku selama ini bergaul dengan Bu Ghalina. Ah,
tapi................Aku hanya mengambil hikmahnya saja. Toh kalau berlian,
walaupun keluar dari mulut binatang haram sekalipun,... masih akan tetap
berlian.
2 comments:
Seperti kisah nyata ya bu endset.. Bikin eneg bu ghalina... Sepertinya saya tahu.. Tapi.. Sudahlah.. Ini hanya cerita toh
Hehe, kehidupan sumber inspirasi
Post a Comment