MAAFKAN AKU IBU...
Karya: Endang
Setiyaningsih
Aku
gadis belia. Usiaku baru 16 tahun. Tapi cerita hidupku yang akan aku ceritakan
ini, mungkin akan membuat anda tercengang. Aku sudah menikah. kamu pasti
terkejut? Gadis seusiaku seharusnya masih suka bersenang-senang bersama
teman-teman sekolah. Ah.. aku ceritakan ini supaya kamu tidak mengalami
kesalahan yang pernah aku lakukan. Aku ingin berbagi kisah hidupku karena aku
tak mau kawan kawan sebayaku melakukan perbuatan tolol seperti yang pernah aku
lakukan.
Semua berawal sebuah HP yang diberikan oleh orangtuaku
kepadaku. Aku keranjingan mengirim SMS. Aku senang sekali pada telpon telpon
salah sambung yang sering berlanjut menjadi pertemanan dalam SMS. Aku main SMS
dimanapun aku berada. Di rumah, di Sekolah, di kelas ketika guru sedang
mengajar, di angkot ketika pulang pergi sekolah, dimana saja. Prestasi
belajarku menurun. Padahal sebelumnya aku selalu berada di posisi sepuluh besar
di kelas. Aku mulai berteman dengan teman teman gaul yang sering mengajakku
untuk mencoba coba sesuatu yang baru, seperti merokok, minum minuman beralkohol
bahkan merokok ganja. Semua itu kulakukan karena ingin coba –coba dan mengikuti
teman temanku.
Reputasiku di sekolah sudah mulai buram. Kelas satu yang
penuh nilai bagus, aku tinggalkan dalam kenangan. Happy yang manis dan pinter
sudah berubah dengan Happy yang sering dipanggil guru BK. Tertangkap sedang
merokok di belakang kelas, sedang jajan di jam pelajaran, Bolos dan sebagainya.
Aku melakukan semuanya begitu saja. Aku senang bergaul seperti itu. Aku mencari
sesuatu yang selama ini belum pernah aku rasakan. Sesuatu yang baru selalu
menarik perhatianku. Termasuk cowok. Ya, aku pun mulai mengenal istilah
pacaran.
Pacar pertamaku adalah teman sekolahku, namanya Saddy. Dia
sudah berusia 3 tahun di atasku. Mungkin dulu dia sempat tidak naik kelas.
Saddy memperkenalkan aku pada dunia baru lebih indah lagi di masa remajaku.
Cinta. Ya, cinta itu ternyata indah dan nikmat rasanya. Pokoknya berjuta
rasanya. Hal ini juga yang membuatku dipanggil guru BK untuk yang kesekian
kalinya. Aku ketahuan berciuman di belakang kelas. Jadi pemanggilan demi
pemanggilan, nasihat demi nasihat hanya berlau bersama angin. Terbang bersama
debu jalanan yang menyesakkan dada. Apalagi guru yang memanggilku itu hanya
mengerutu dan mengomel saja atas tingkah burukku. Bukan itu yang aku
butuhkan. Apapun yang kau katakan selama
kau menganggapku siswa penuh masalah yang hanya memenuhi buku kasus saja, maka
selama itu pula aku tak akan mendengar nasehatmu. Aku juga manusia Pak, Aku
berpikir, aku butuh dihargai. Aku bukan sampah yang kau ancam ancam akan kau
keluarkan dari sekolah jika aku tak segera memperbaiki kelakuanku.
Kelas dua berlalu dalam diam, aku naik kelas dengan nilai
pas-pasan. Bukannya insyaf, tapi aku malah semakin banyak ulah. Aku berteman
dengan biangmya keributan di sekolah. Dari dia juga aku mendapatkan lintingan
ganja. Sampailah pada puncak permasalahan. Aku hampir di depak dari sekolah
tiga bulan menjelang Ujian. Tapi Tuhan masih memanjakanku dengan berbagai
kenikmatan. Aku berhasil bertahan, sekolah memberi kebijakan dan memberikan aku
kesempatan kedua.
Aku sama sekali tak konsen belajar. Aku semakin sering main
ke tampat pacarku yang ketiga. Aku sebetulnya menyadari bahwa aku segera akan
menghadapi Ujian Nasional, tetapi aku tak ambil pusing. Aku sering diajak main
ke rumah cowokku. Keadaan di rumhnya selalu sepi sehingga kami leluasa untuk
bermesraan. Sampai pada suatu ketika aku lepas kontrol. Aku kehilangan keperawananku
di sebuah siang hari yang sepi. Aku tak menyadari kenapa semua bisa terjadi.
Aku terpukul. Aku masih punya masa depan yang panjang. Tapi.... kenapa aku bisa
dengan tololnya menyerahkan kehormatanku untuk orang yang bukan suamiku.
Aku goyah. Aku merasa tak berharga lagi. Dunia yang
sebelumnya buram dalam pandanganku semakin tampak kelabu di mataku. Dunia
seolah berhenti berputar, dan aku termangu dalam tubuh dan jiwa yang kotor. Aku
adalah gadis ternoda yang tak punya masa depan lagi, sehingga satu satunya yang
harus aku lakukan adalah menjaga hubunganku dengan pacarku supaya dia tidak
meninggalkan aku karena aku telah diperawaninya. Aku harus minta tanggungjawabnya.
Aku terus terganggu dengan kesalahan yang sudah aku lakukan. Hanya dia yang mau
denganku. Hanya dia. Laki laki lain akan memandangku hina. Hidupku sudah
berhenti semenjak itu. Tak ada lagi bayangan seragam abu-abu berkelebat di
benakku. Aku mau menikah saja. Itu jalan terbaik.
Aku
semakin malas belajar sementara ujian di depan mata. Aku masih tak berhenti
merutuk pada diri sendiri kenapa aku bisa melakukannya perbuatan terkutuk itu.
Bagaimana seandainya pacarku itu tak mau bertanggungjawab atas perbuatannya.
Bagaimana aku menghadapi kehidupan ini. Sedangkan aku sudah kotor, dan tak suci
lagi.
Pada suatu hari, karena semakin kalut dengan pikiran yang
ada di kepalaku. Aku tak mau pulang dari rumah pacarku. Selama tiga hari aku
menginap di rumah pacarku. Aku tahu ibuku datang ke rumah pacarku untuk
mencariku, tetapi pacarku dan aku berkeras untuk tak memberitahukan kepadanya.
Akhirnya apa yang aku harapkan terjadi. Keluarga pacarku akan menikahkan kami
berdua. Aku tak bahagia mendengarnya. Aku cuma senang saja. Setidaknya aku
merasa aman dengan ketidakperawananku yang setengah mati aku sesali.
Sudah seperti dugaanku. Orangtuaku tidak menerima lamaran
keluarga suamiku. Kata mereka ibuku marah sekali. Hatiku seperti teriris ketika
melihat amanat ibuku. Aku bisa merasakan sakit hatinya. Aku anak gadis
pertamanya, meninggalkan rumah dalam keadaan seperti ini, maka wajar bila ibuku
memberi amanat Tante Miranda, wakil dari ibuku yang menghadiri pernikahanku. Tante
Miranda menampar wajah suamiku di depan semua tamu. Aku tidak sakit hati. Aku
hanya menitikkan airmata mata, mendengar bahwa tamparan itu adalah amanat dari
ibuku. Duh Ibu, Happy terima semua ini. Happy memang tak pantas hidup bersama
Ibu lagi. Happy kotor, maka biarkan Happy menebus semua kesalahan Happy bersama
suami Happy.
Pernikahan
itu ternyata bukan solusi. Aku tinggal bersama keluarga suami. Aku tidak
mendapat tempat juga di hati mereka. Aku diperlakukan tak ubahnya seperti
pembantu rumah tangga. Aku mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, dari mencuci,
masak, bersih-bersih sampai menggosok. Pada awalnya aku bertahan, tetapi lama
lama aku tak kuasa menahan beban. Tubuhku semakin kurus karena kurang makan.
Keluarga suamiku bukan keluarga yang kecukupan, semua makanan yang aku masak
seringkali habis sebelum aku sempat menikmatinya. Badanku semakin lemah. Tetapi
tak satupun yang bisa aku lakukan.
Mengapa
seluruh hidupku menjadi begini nista. Ibu, aku rindu, Ayah aku rindu padamu.
Setiap kali mengingat mereka, hanya airmata yang menetes di pipi. Aku didera
perasaan bersalah yang amat sangat. Aku seringkali menatap keluargaku dari
ujung jalan. Aku melihat mereka sehat saja sudah cukup membuatku nyaman. Aku
ingin sekali memeluk mereka. Tapi aku tak bisa. Aku ingin pulang Ibu... Tapi
aku takut kalian tak menerimaku. Puteri kalian yang telah mempermalukan kalian
begitu rupa.
Hari
berganti, minggu berjalan dan bulan pun berlari. Aku semakin tertekan dengan semua
keadaan. Aku semakin lemah. Aku tahu aku sakit, tetapi waktu aku minta suamiku
untuk mengantarku pergi berobat, suamiku hanya mengantarku ke bidan. Tak ada
pengecekan ini dan itu yang biasa dilakukan di kedokteran. Aku tahun aku sakit,
tapi aku tak berdaya. Hingga suatu saat suamiku mengajakku untuk menjalankan
kewajiban aku tak sanggup, bukan kasihan yang kudapatkan tapi tamparan dan
makian. Ya Tuhan... apakah ini cobaan, apakah ini ganjaran atas zina yang telah
aku lakukan?. Aku sudah tak bisa melihat harapan, bahkan aku sudah kehilangan
orientasi. Bahkan sudah tak sanggup merasakan sakit hati ketika suamiku menyuruh
aku pergi. Dia bilang sudah menceraikan aku. Aku sudah tak sanggup menangis.
Bahkan aku tertawa melihat nasib dan hidup mempermainkan si pendosa ini. Sampai
pada suatu hari suamiku mengatakan akan mengantarkan aku pulang. Mungkin dia
tak mau mengurusku dan hanya menganggap aku menjadi beban.
Aku
melangkah pelan di halaman depan rumahku. Aku kembali padamu Ibu,
Bapak....Seaat aku tak sanggup berkata-kata dadaku sesak karena airmata dan
pelukan. Teriakan ibuku melihat keadaanku membuatku semakin pucat dan
kehilangan kesadaran..Maafkan Happy Bu, Maafkan Happy, kataku lemah. Aku tak
sanggup melihat ekspresi wajahmu Ibu. Aku berdosa Bapak.. Aku tak pantas untuk berada di antara
kalian...
Bapak
dan Ibuku menerimaku. Bahkan mereka menyayangiku luar biasa. Mereka menciumku,
memelukku, mereka memberiku makanan yang
selama ini kurang aku terima dengan layak. Aku dibawa ke dokter, tetapi setelah
obat habispun kondisiku tak mengalami perubahan. Aku merasakan kasih sayang Bapak
Ibuku sungguh luar biasa. Aku sungguh tak menyangka mereka akan menerimaku kembali
menjadi anak mereka. Aku sudah terlalu banyak membuat dosa. Dalam hati aku
berjanji, kalau memang diberi kesempatan aku akan membuat mereka selalu
tersenyum. Tak pernah bermuram karena tingkah yang aku lakukan. Mereka bilang,
mereka akan menyekolahkan aku lagi. Aku merasa berada di dunia lagi. Karena
kemarin.. aku merasa sudah mati. Aku merasa punya masa depan lagi.
Ibu,...
engkau sungguh wanita yang benar-benar berhati mulia. Kau maafkan aku yang
telah begitu banyak membuat malu dirimu. Dalam kelemahanku, ada senyumku
bahagia. Pelukan dan belaian Bapakku membuat nafasku menjadi sedikit lebih
nyaman dari sebelumnya. Setidaknya aku bisa merasakan kasih mereka dalam
sakitku. Wajah marah mereka ketika aku berlaku menjadi puteri durhaka, masih
kuingat dengan sangat jelas. Wajah yang mencerminkan sakit hati yang tiada tara
itu sekarang tak ada lagi. Mereka mencintaiku. Masih mencintaiku. Aku mulai
melihat cahaya. Indah.
Beberapa
hari aku bersama mereka, keaadaanku semakin lemah. Tapi aku merasa aku seolah
sudah sembuh. Aku ceria, aku akan sekolah lagi. Aku... tersenyum aku
membayangkan keindahan yang kurasakan apabila aku sembuh nanti.......Aku merasa
melayang karena bahagia, tubuhku ringan...Sampai akhirnya aku terbangun dari
lelapku. Tetapi aku tak tahu dimana keberadaanku. Semuanya berwarna putih,
bersih... Aku melihat Bapak dan ibuku sedang berada di samping tempat tidurku,
menatapku dengan senyuman yang dipaksakan. Ternyata aku sedang berada di Rumah
Sakit.
Aku
menatap mereka tanpa bisa bicara. Aku membuka mulutku untuk menyapa ,mereka
tapi kelu. Aku mau minta maaf Bapak, Ibu, aku belum sempat mengucapkannya.
Aku
mencoba bicara, Ya Tuhaan. Aku tak sanggup lagi memgeluarkan kata kata. Kenapa
mulutku kelu dan sulit untuk kugerakkan. Aku belum sempat mengucapkan
permohonan maafku pada orangtuaku. Aku mencoba sekuat tenaga untuk menggerakkan
bibirku tetapi seluruh usahaku sia-sia. Akhirnya aku hanya bisa meneteskan
airmata. Airmata itu mengalir dari ujung kedua mataku. Kulihat orangtuaku
terkejut melihatku menangis tanpa suara. Untuk pertama kali aku melihat, Bapak
dan ibuku beruurai airmata juga, mulut mereka bergerak gerak, tapi aku tak
sanggup mendengar apa yang mereka ucapkan. Mereka mengenggam tanganku, aku
terus menitikkan airmata. Ibu membawa tanganku ke dadanya, mencium telapak
tanganku. Dalam uraian airmatanya dia mengukir sebuah senyum, Oh ibu... mungkin
ibu berusaha menyampaikan bahwa dia menyayangiku. Dia berusaha tersenyum dalam
sedihnya, mungkin itu tanda bahwa dia memaafkanku. Setidaknya itu yang bisa aku
terjemahkan. Aku sudah tak bisa mendengar, aku sudah tak bisa berkata kata,
tetapi mataku masih bisa menatap kabur terhalang airmataku yang terus jatuh
tanda penyesalanku. Maafkan aku ibu...
Aku
tak bisa bergerak lagi. Aku tuli. Aku buta. Tapi aku melihat mereka. Semua
menangis. Mengelilingi aku. Ibuku menjerit jerit. Happy, Ibu memaafkanmu Nak...
Ibu memaafkanmu. Semakin Ibuku meratap memanggil manggil namaku. Aku diam. Aku
beku. Aku mendengar suara suara dzikir dan Surat Yaasin di baca di sekitarku
.
No comments:
Post a Comment