PERGULATAN HATI LANGITA
Ya ampun…. Ga bisa bayangin gimana rambut
indahku jika harus memakai jilbab. Pasti berkeringat, lepek, bau … ah pokoknya
yang jelek jelek deh. Apalagi selama in yang paling aku banggakan dari
penampilanku adalah ram,but indahku ini. Dia bak mahkota raja yang berharga
yang membuat aku tampil percaya diri karena banyak yang iri akan keindahannya. Pokoknya skala satu sampai
sepuluh, rambutku pasti akan menduduki posisi sembilan. Bukan sombong lho,
emang begitu kenyataannya. Pokoknya patut dibanggakan, cocok deh buat iklan
shampoo, produsernya aja yang belum ngeliat rambutku. Trus, tiba-tiba aku harus
tutupi sesuatu yang indah ciptaan Allah ini? Bukankah Allah cinta akan
keindahan? Dan kenapa pula harus ditutup ? Engga dech………..”
Sudah tiga
bulan ini Langita mengikuti Kajian Rohaniah Islam yang diadakan oleh kampusnya.
Setiap Minggu pagi dia rutin mengikuti kegiatan tersebut. Padahal dalam hati
dia sedikit menyesalkan kenapa juga harus diadakan hari Minggu. Padahal hari
Minggu kan saatnya untuk hanging out. Tapi toh tetap saja ia mengikuti kegiatan
itu karena memang ia mau sedikit memperdalam pengetahuannya mengenai agama. Dan
setelah beberapa lama ia mengikuti kegiatan tersebut, ada satu hal yang sangat
mengganggu hatinya. Bahwa seorang wanita harus menutup auratnya. Dan bahwa
ternyata yang selama ini dianggapnya aurat adalah cuma sebatas leher ke bawah
dan lutut ke atas. Ternyata sa;lah besar Selama ini dia memandang wanita
berjilbab hanya sekedar mengikuti fashion saja. Jadi hanya bersifat pilihan,
boleh ya, boleh tidak. Gambaran fiqih mengenai hal itu sudah dijabarkan dengan
sangat jelas oleh kak Rayhan, Mentornya di Kajian tersebut.
“God, what
should I do? Soalnya aku ga bisa ngebayangin gimana jadulnya aku kalau harus
jogging mengelilingi komplek perumahan dengan memakai stelan kaos training
panjang, pake jilbab pula? Trus mau akau kemanain koleksi hot pants selututku yang bertumpuk di
lemari? Lebih parah lagi suitan yang selalu aku peroleh ketika melewati
komunitas kaum adam yang lagi pada nongkrong, apa ga akan berubah menjadi
“Assalamu’alaikum Bu Hajiiii…” Pasti tengsin berat aku. Engga deh……
Bulan
keempat minggu ketiga, Langita sudah mulai jengah dengan pandangan Rayhan
ketika sedang memberikan materi kajian. Selama ini Rayhan tahu betul bahwa
Langita hanya memakai jilbab ketika mengikuti kajian saja. Selebihnya
berkali-kali Langita harus lari menghindar dari kakak seniornya di kampus itu.
gara-gara dia hanya memakai celana jeans selutut dan kaos pas badan. Dan
Langita merasa sangat salah tingkah walaupun Rayhan hanya memandang sekilas
sekilas saja ke arahnya ketika sedang menguraikan hukum dan hadits mengenai
wanita.
“Idih,
kenapa aku merasa pandangan matanya begitu menusuk hatiku. Seolah olah mata itu
menuding dan mencibir, “Hai Langita, Kok pake jilbanya kalau sedang ikut kajian
aja? Apa Allah hanya berada di tempat kajian ini?” Begitu kira-kira aku
menerjemahkan tatapan matanya kak Rayhan. Very handsome sih kakak yang satu
ini. Eh, tapi kenapa pula aku harus mikirin dia. Who is he anyway? Siapa sih
dia hingga aku selalu merasa bersalah jika memakai baju yang lagi trend?
Saudara bukan, pacar juga bukan. Ih.. bodoh banget sih aku ini, ngapain juga
aku harus merapatkan kerudung yang aku pake ketika yang memberi materi kajian
adalah kak Rayhan
Langita
menggelengkan kepalanya seperti ingin mengibaskan dan mengusir rasa sungkannya
pada Rayhan, ustadz muda yang selalu sabar membimbing peserta kajian yang
rata-rata memang sudah berjilbab setiap harinya. Tidak ada ajakan atau
propaganda kampanye yang persuasive yang vulgar untuk memenuhi syariat Islam
tersebut. Dari mulutnya hanya keluar senyuman, cerita perbandingan dan bahasa
bahasa tersirat yang lembut tanpa menghakimi. Rupanya itu yang disukai Langita
dari Rayhan. Cara dakwahnya yang halus dan tidak terkesan menggurui. Seandainya
seluruh ustadz begitu, pasti orang tak lagi enggan mengikuti barbagai macam
kajian Islam.
“Hari ini
aku pasti ketemu kak Rayhan di rapat rutin dan apa jadinya kalau dia ngeliat
aku pakai baju begini, terlalu pas dan ketat sehingga they can look my body
shape. Dan itu… Ga Boleh. Ganti baju ahhhh. But Wait….Masa iya aku pake jilbab
hanya karena malu pada seseorang, manusia lagi. Wah, ga bener nih… bukankah itu
namanya riya’. Iya .. apalagi namanya kalau kita berniat menjalankan syariat
Islam hanya karena malu sama seorang makhlukNya juga? Ih… kata kak Rayhan juga
riya’ itu hukumnya… sereeem . Astagfirullahal ‘adzim .. Engga dech
Akhirnya
Langita berangkat ke rapat hari itu tetap dengan kostumnya yang biasa , tetapi
dia memilih celana panjang dan kaos lengan panjang, Cuma belum pakai jilbab
Baginya itu sudah sangat sopan karena kostum itu jarang menjadi pilihannya
ketika berdiri di depan lemari pakaian. Tapi akhirnya pakaian itu tak urung
juga membuat ia merasa telanjang di tengah tengah para perserta rapat yang
semuanya memakai jilbab kecuali para kaum adamnya (Ya iyalah, masak cowok pake
jilbab). Terpaksa ia memilih tempat duduk paling belakang yang paling
terlindung dari pandangan para pimpinan rapat di depan and especially dia bisa
terhindar dari tatapan mata cool Rayhan yang hanya sekilas saja tapi cukup
membuat dadanya berdesir kencang dan…
“Bukan kak
Rayhan yang membuatku ingin memakai jilbab . Bukan,…. sama sekali bukan. Ok aku
harus meyakinkan diriku sendiri bahwa bukan karena seseorang. Aku ga akan
menodai niat suciku dengan urusan seperti itu. Aku harus memakai jilbab untuk
hatiku terlebih dahulu. Ya, hatiku harus lebih dahulu berjilbab, hatiku harus
jauhdulu dari penyakit iri, dengki, prasangka buruk dan yang naudzubillah
lainnya. Buat apa pake jilbab
kalu kelakuan minus. Ga lucu kan? Baru setelah hatiku OK , aku akan memakai
jilbab dengan perasaan tenang dan penuh percaya diri. So? Not now …….
Bulan kelima
Langita masih setia mengikuti kajian muslim itu. Dia tidak lagi memperdulikan
tatapan mata Rayhan, dia tidak lagi memikirkan apakah siulan yang biasa di
dapatnya dari kaum Adam akan berubah menjadi assalamualaikum Bu haji. permisi
aku permisiii …..Langita memulai urusan proses pembenahan diri yang dia sebut
sebagai memakai jilbab untuk hatinya. Ia ga mau hatinya penuh dengan prasangka
ke orang lain, penuh pertimbangan pada komentar orang lain. Gimana kalau orang lain
berpikiran gini, gimana kalau orang lain berpikiran gitu. Dalam hati terpatri “OK
,Someday I will wear that holy jilbab “
Hari –hari
selanjutnya yang dilalui langita berjalan seperti biasa. Hanya pilihan
busananya sudah berubah. Tank top tak lagi menjadi favoritnya. Topi juga tak
pernah alpa menghiasi rambutnya yang indah. Jeans ketat? Good bye my love deh
pokoknya, itu semua dilakukannya murni dari hati. Jilbab yang sudah menumpuk di
lemarinya saksinya. Ia tidak ingin salah melangkah bahwa ia memakai busana itu
bukan karena siapa- siapa. Bukan juga karena kak Rayhan yang pernah membuat hatinya tertawan.
“ Demi Engkau
Ya Allah, hanya demi Engkau, ayat demi ayat yang aku kaji bagaikan embun yang
membasahi padang gersang hatiku memberikan kesejukan di perjalanan hatiku yang
lelah. Memberikan keyakinan yang mutlak dan tak terbantahkan. Bahwa semua
dariMu dan akan kembali padaMu
Air mata sering
mengalir deras dari sudut matanya dalam setiap sujud tahajudnya ia selalu
meminta kepada Allah untuk diberikan kekuatan menghadapi dunia yang semakin tak
karuan. Ia memohon kekuatan supaya menjalankan ibadahnya tanpa keengganan.
Bulan ke tujuh
langita mengikuti kajian seperti biasa. Suasana di tempat kajian terlihat tidak kelihatan seperti biasanya, semua
kelihatan muram. Bahkan terdengar isakan lirih dari kerumunan para cewek.
Beberapa koodinator kajian terlihat agak sibuk dan serius membicarakan sesuatu.
Langita datang masih dengan wajah bertanya-tanya. Mulutnya sudah hampir terbuka
untuk mengucapkan salam tapi keburu suara loudspeaker melengking tinggi tanda
belum stabil. Beberapa saat masih terdengar ga enak di telinga, tapi setelah
hening sejenak terdengar sebuah salam yang lirih dan seolah tercekat di
tenggorokan. Ternyata pemilik suara itu adalah kak Fadli, salah satu
koordinator Kajian. Belum selesai Langita terheran-heran mendengar salam yang
terdengar serak dan ragu itu, tiba-tiba si pemilik suara melanjutkan dengan..
Innalillahi Wa
Inna lilllahi Rojiun
Kullu nafsin
dza iqotul maut.
Telah berpulang
dengan tenang saudara kita tercinta
Rayhan
Numa………………
Tak sanggup
rasanya L:angita menahan berat tubuhnya yang limbung mendengar pengumuman
singkat itu. Bahkan mulutnya tak sanggup mengucap…
Lidahnya kelu…
“Ya Allah, Kak
Rayhan meninggal? Tidak terlalu singkatkah Engkau memberinya waktu untuk
menikmati indahnya dunia ini Ya Rabb? Dia masih begitu muda, begitu alim,
cerdas dan Insya Allah bermasa depan cerah. Wajah cool yang selama ini aku
tuduh sebagai pengganggu hatiku, pengganggu konsentrasi ibadahku sekaligus
aroma yang membuat wangi hari-hariku…”
Rombongan
kajian langsung menuju rumah duka untuk ta’ziah dan melepas kepergian Rayhan.
Prosesi pemakaman mereka lalui dalam diam. Tak henti airmata mengalir deras
dari sudut mata Langita. Menatap tanah merah yang sedikit demi sedikit menutup
makan kak Rayhan. Semakin sesak Langita menahan tangisnya supaya jangan
bersuara…
“ Bukan Kak
Rayhan Ya Allah yang aku tangisi. Aku menangisi diriku sendiri. Bagaimana aku
akan menjawab semua pertanyaan para malaikat seandainya aku yang menjadi
jenazah itu. Sedangkan aku masih telanjang. Ya, aku masih telanjang. Bagaimana
kalau nanti sore, esok atau lusa aku yang terbujur kaku, memakai kain kafan
putih, dengan kapas yang menutup mata dan telingaku? Ya Rabb, aku belum siap
Kau jemput, karena…………. aku masih menunda-nunda untuk menjalankan perintahMu.
Aku telah menggunakan berbagai dalih dan alasan untuk menunda memakai jilbab.
Aku terlalu sombong, angkuh dan takabur, terlalu yakin bahwa Allah akan memberi
kesempatan yang panjang untuk menghirup udara segar di muka bumi ini. Aku
manusia bodoh yang pura-pura ingin memakaikan jilbab di hati terlebih dahulu
sebelum menutup kepala ini dengan jilbab. Padahal itu semua hanya mencari
pembenaran atas kesalahan dan mengingkari Al Quran.
Aku terlalu
naïf dan telah melakukan tawar menawar tolol dengan Allah, Astagfirullahal
azim….. Ampuni hambamu ini ya Rabb……
Tiba-tiba
Langita berlari dan berlari. Ia meninggalkan pemakaman itu tanpa peduli lagi
pada siapapun. Ia ingin secepatnya melakukan sesuatu yang selama ini selalu ia
tunda untuk menjalankannya. Ia ingin secepatnya pulang dan menutup semua
auratnya yang selama ini ia pertontonkan pada semua orang. Sesampainya di rumah
ia menghambur ke kamar dan membuka lemari pakaiannya. Ia meraih tumpukan jilbab
yang selama ini sudah ia koleksi. Ia merangkumnya dalam dekapan sambil berurai airmata. Kemudian masih sambil
menangis ia terduduk lemas….
“Terimakasih
Kak Rayhan, maafkan aku jika hidayah itu datang padaku lewat kepergianmu. Selamat jalan kak Rayhan, Semoga
Allah menerima semua amal dan ibadahmu di sisiNya. Amin.
No comments:
Post a Comment