Menjadi Guru Penuh Cinta
Seringkali saya mendengar keluhan dari guru tentang sulitnya menasehati siswa yang melanggar tata tertib sekolah, seperti membolos, merokok, tidak mengerjakan PR, baju tidak dimasukkan atau rambut panjang dan sebagainya. Banyak keluhan berseliweran di kanan kiri bahwa mereka sudah memarahi dan mengomeli siswa, tetapi keadaan tetap sama saja alias tidak berubah sama sekali. Keputusasaan muncul dengan kalimat kalimat yang seringkali membuat sedih hati saya.
Ada yang mengatakan bahwa murid nakal itu sunggul menjengkelkan, bikin pusing, virus bagi yang lain, keluarkan sajalah daripada menulari teman temannya. Ada yang mengatakan bahwa terserahlah, mengajar hanya mengajar saja, anak bukan saudara bukan, mau apa juga terserah yang penting kita sudah mengajar.
Ada juga yang lelah memberitahu atau menasehati tetapi sepertinya sia sia. Siswa hanya mendengarkan dengan menggunakan telinga kanan dan sesaat kemudian keluar dari telinga kiri tanpa sedetikpun mampir di sanubari.
Sepertinya ada yang salah dengan cara mereka bereaksi terhadap kesalahan atau kenakalan yang dilakukan oleh peserta didik. Guru yang memergoki atau menangkap tangan siswa yang sedanag melanggar peraturan atau tata tertib sekolah, spontan yang ditunjukkan adalah ekspresi marah dan selanjutnya diikuti dengan gertakan, omelan dan sebagainya. Bahkan ada yang mengeluarkan justifikasi untuk sang murid dengan label badung, bandel, trouble maker dan lain sebagainya yang lebih sarat dengan makna konotasi negatif. Sehingga siswa sendiri tanpa sadar mempercayai ucapan sang guru dan naudzubillah, akhirnya dia juga menyakini bahwa dirinya badung atau nakal sesuai justifikasi yang diberikan oleh guru. Astaghfirullah.
Guru, sebagai pekerja profesional harus mempunyai kompetensi sosial, yang mengisyaratkan bahwa guru juga harus sanggup terlibat dengan siswa, terlibat ini dalam arti memahami psikologi perkembangan, sehingga tahu betul karakter siswa terutama dilihat dari usia. Siswa yang sedang belajar, tidak mungkin dituntut untuk menjadi sempurna. Kesalahan yang dilakukan seorang pembelajar adalah tahapan proses yang harus dilalui siswa. Tidak akan mungkin ada siswa yang tidak berbuat kesalahan. Justeru kesempatan melakukan kesalahan itulah yang akan mengantar siswa pada kebenaran, pada pemahaman akan sesuatu, hukum sebab akibat dan lain lain.
Ketika kita berhadapan dengan siswa yang "nakal" kita harus mencari informasi mengenai kehidupannya si rumah dan pergaulannya dengan teman teman sekolahnya. Latar belakang kehidupan siswa merupakan sumber dari perilaku dan sikapnya. Sebagian siswa yang bermasalah memiliki latar belakang yang kurang menyenangkan. Keadaan orangtua yang bercerai, orangtua tunggal, keadaan ekonomi bisa menjadi latar belakang masalah siswa.
Mengatasi siswa nakal tidak harus dengan kemarahan atau kekerasan, ajak anak bicara dari hati ke hati, ajak bicara mengenai hal hal yang menjadi keresahannya, berperanlah menjadi temannya sehingga dia bisa mempercayakan rahasia atau kegalauannya kepada kita. Jangan lupa menanyakan hal hal yang menjadi kesenangannya, ajak dia membicarakan hal yang positif dari dirinya sehingga dia merasa dihargai. Cari hal sekecil apapun dari dia, sehingga kita bisa memujinya.
Menghadapi siswa yang bermasalah tidak harus dengan proses pendisiplinan yang keras. Ancaman bahwa apabila siswa terus melakukan kesalahan yang sama akan dikeluarkan dari sekolah membuat siswa merasa semakin terpuruk tanpa ada tempat untuk mengadu. Padahal menurut saya, justeru saat itulah dia sangat membutuhkan peran kita sebagai orang yang mempercayai bahwa dia akan mampu melalui masa masa sulitnya. Kelembutan dan kasih sayang akan menyentuh hatinya. Paling tidak kita bisa memberikan sesuatu yang mungkin tidak didapatkannya dari rumah.
Sedih sekali, ketika mendengar seorang guru mengatakan "saya tidak mau memberikan nilai karena anak ini kurangajar, anak itu tidak mau mengerjakan tugas, anak yang lain lagi tidak mengikuti ulangan dan berbagai macam kekurangan lain anak yang dijadikan alasan untuk tidak memberikan nilai. Anak anak tersebutlah yang sebenarnya membutuhkan sentuhan kita, bimbingan dan pembinaan dari kita. Sesungguhnya mereka berbuat yang tidak lazim karena ada sebabnya. Penyebab itulah yang harus kita gali. Mengapa satu siswa tertentu selalu bermasalah. Kemudian kita harus terapkan berbagai treatment layaknya dokter, sehingga dia bisa sembuh dan bersikap layaknya siswa sebaya mereka.
Wallahualam siswa adalah manusia muda remaja yang sulit untuk dimengerti. Strategi menghadapi dan mendampingingi mereka juga seringkali berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Strategi yang efektif di sekolah tertentu, belum tentu sama efektifnya apabila strategi tersebut diterapkan di sekolah lain. Kita sebagai guru, yang diperlukan untuk menghadapi mereka adalah cinta. Mengajarlah dengan cinta, membimbinglah dengan cinta.
Sekali lagi cinta, bukan sebaliknya.
Ditulis oleh endang setiyaningsih
Seringkali saya mendengar keluhan dari guru tentang sulitnya menasehati siswa yang melanggar tata tertib sekolah, seperti membolos, merokok, tidak mengerjakan PR, baju tidak dimasukkan atau rambut panjang dan sebagainya. Banyak keluhan berseliweran di kanan kiri bahwa mereka sudah memarahi dan mengomeli siswa, tetapi keadaan tetap sama saja alias tidak berubah sama sekali. Keputusasaan muncul dengan kalimat kalimat yang seringkali membuat sedih hati saya.
Ada yang mengatakan bahwa murid nakal itu sunggul menjengkelkan, bikin pusing, virus bagi yang lain, keluarkan sajalah daripada menulari teman temannya. Ada yang mengatakan bahwa terserahlah, mengajar hanya mengajar saja, anak bukan saudara bukan, mau apa juga terserah yang penting kita sudah mengajar.
Ada juga yang lelah memberitahu atau menasehati tetapi sepertinya sia sia. Siswa hanya mendengarkan dengan menggunakan telinga kanan dan sesaat kemudian keluar dari telinga kiri tanpa sedetikpun mampir di sanubari.
Sepertinya ada yang salah dengan cara mereka bereaksi terhadap kesalahan atau kenakalan yang dilakukan oleh peserta didik. Guru yang memergoki atau menangkap tangan siswa yang sedanag melanggar peraturan atau tata tertib sekolah, spontan yang ditunjukkan adalah ekspresi marah dan selanjutnya diikuti dengan gertakan, omelan dan sebagainya. Bahkan ada yang mengeluarkan justifikasi untuk sang murid dengan label badung, bandel, trouble maker dan lain sebagainya yang lebih sarat dengan makna konotasi negatif. Sehingga siswa sendiri tanpa sadar mempercayai ucapan sang guru dan naudzubillah, akhirnya dia juga menyakini bahwa dirinya badung atau nakal sesuai justifikasi yang diberikan oleh guru. Astaghfirullah.
Guru, sebagai pekerja profesional harus mempunyai kompetensi sosial, yang mengisyaratkan bahwa guru juga harus sanggup terlibat dengan siswa, terlibat ini dalam arti memahami psikologi perkembangan, sehingga tahu betul karakter siswa terutama dilihat dari usia. Siswa yang sedang belajar, tidak mungkin dituntut untuk menjadi sempurna. Kesalahan yang dilakukan seorang pembelajar adalah tahapan proses yang harus dilalui siswa. Tidak akan mungkin ada siswa yang tidak berbuat kesalahan. Justeru kesempatan melakukan kesalahan itulah yang akan mengantar siswa pada kebenaran, pada pemahaman akan sesuatu, hukum sebab akibat dan lain lain.
Ketika kita berhadapan dengan siswa yang "nakal" kita harus mencari informasi mengenai kehidupannya si rumah dan pergaulannya dengan teman teman sekolahnya. Latar belakang kehidupan siswa merupakan sumber dari perilaku dan sikapnya. Sebagian siswa yang bermasalah memiliki latar belakang yang kurang menyenangkan. Keadaan orangtua yang bercerai, orangtua tunggal, keadaan ekonomi bisa menjadi latar belakang masalah siswa.
Mengatasi siswa nakal tidak harus dengan kemarahan atau kekerasan, ajak anak bicara dari hati ke hati, ajak bicara mengenai hal hal yang menjadi keresahannya, berperanlah menjadi temannya sehingga dia bisa mempercayakan rahasia atau kegalauannya kepada kita. Jangan lupa menanyakan hal hal yang menjadi kesenangannya, ajak dia membicarakan hal yang positif dari dirinya sehingga dia merasa dihargai. Cari hal sekecil apapun dari dia, sehingga kita bisa memujinya.
Menghadapi siswa yang bermasalah tidak harus dengan proses pendisiplinan yang keras. Ancaman bahwa apabila siswa terus melakukan kesalahan yang sama akan dikeluarkan dari sekolah membuat siswa merasa semakin terpuruk tanpa ada tempat untuk mengadu. Padahal menurut saya, justeru saat itulah dia sangat membutuhkan peran kita sebagai orang yang mempercayai bahwa dia akan mampu melalui masa masa sulitnya. Kelembutan dan kasih sayang akan menyentuh hatinya. Paling tidak kita bisa memberikan sesuatu yang mungkin tidak didapatkannya dari rumah.
Sedih sekali, ketika mendengar seorang guru mengatakan "saya tidak mau memberikan nilai karena anak ini kurangajar, anak itu tidak mau mengerjakan tugas, anak yang lain lagi tidak mengikuti ulangan dan berbagai macam kekurangan lain anak yang dijadikan alasan untuk tidak memberikan nilai. Anak anak tersebutlah yang sebenarnya membutuhkan sentuhan kita, bimbingan dan pembinaan dari kita. Sesungguhnya mereka berbuat yang tidak lazim karena ada sebabnya. Penyebab itulah yang harus kita gali. Mengapa satu siswa tertentu selalu bermasalah. Kemudian kita harus terapkan berbagai treatment layaknya dokter, sehingga dia bisa sembuh dan bersikap layaknya siswa sebaya mereka.
Wallahualam siswa adalah manusia muda remaja yang sulit untuk dimengerti. Strategi menghadapi dan mendampingingi mereka juga seringkali berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Strategi yang efektif di sekolah tertentu, belum tentu sama efektifnya apabila strategi tersebut diterapkan di sekolah lain. Kita sebagai guru, yang diperlukan untuk menghadapi mereka adalah cinta. Mengajarlah dengan cinta, membimbinglah dengan cinta.
Sekali lagi cinta, bukan sebaliknya.
Ditulis oleh endang setiyaningsih
No comments:
Post a Comment