Tuesday, April 26, 2016

cerpen



CERMIN RETAK
Sulit rasanya untuk menceritakan sesuatu yang hanya bisa kita rasakan dalam hati. Menggambarkannya pada orang lain dengan jujur tanpa harus menambah dan mengurangi, sehingga mereka benar-benar bisa merasakan dan memahami apa yang sebenarnya terjadi tanpa ada prasangka akan subyektivitas kita dalam bercerita. Tapi walau bagaimanapun patut rasanya untuk dicoba. Hasilnya memuaskan atau tidak itu terserah anda.
Seorang teman sekaligus tetangga, sebut saja Bu Ghalina. Bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Suaminya adalah seorang guru. Penampilan fisik Bu Ghalina ini cukup menarik, perawakan sedang dan memakai jilbab setiap hari sebagai tanda iman yang terpancar dari caranya berbusana. Tutur katanya halus dan jarang terlihat emosi spontan yang pernah ia perlihatkan pada umum. Tak sekalipun kata-kata kasar keluar dari mulutnya Mereka sekeluarga tak banyak bergaul dengan tetangga. Tapi punya reputasi yang cukup baik di lingkungan sekitarnya. Tapi entah mengapa ada rasa gamang menyelinap di hati. Benarkah ia sesopan dan sealim penampilannya. Aku kurang tahu masalah agama tapi tidak juga berarti buta sama sekali. Ada beberapa respon sosialnya yang menurutku terlalu mengelabui dan membuat hatiku bertanya-tanya. Mudah-mudahan cerita ini juga bukan sebagai curahan hatiku yang penuh subyektivitas. Hanya sebagai cara berbagi dengan harapan bisa terpetik sebuah sari yang bisa menjadi pelajaran diri.
Masih lekat di dalam ingatan, sebuah kalimat yang muncul dari mulutnya yang halus. ”Wajar Bu, dia terkena guna-guna seperti itu . Soalnya dia kan tidak pernah sholat. Jadi sulit untuk menghindar dari hal-hal Ghaib seperti itu. Istilahnya dia ngga ada pertahan. Bukan apa-apa lho bu, tapi menurut saya memang begitu keadaannya”. Ketika itu ada dari salah satu rekan kami yang sedang sakit, yang entah bagaimana ceritanya, gosip yang tersebar adalah si rekan ini tadi terkena guna-guna, bahwa penyakit yang dideritanya bukan penyakit medis. Rasa prihatin yang mewarnai obrolan kami waktu itu kurasa memudar tiba-tiba dengan kalimat Bu Ghalina. Kalaupun apa yang dibicarakannya benar, bukankah yang berhak menilai ibadah seseorang itu hanya yang Kuasa. Aku merinding mendengarnya. Lewat pembicaraan itu aku malu sama Allah, bukankah sholatku juga kadang-kadang tak bermutu. Kurang khusu’ atau tidak sama sekali. Bahkan seringkali hanya gerak badan simbolik minus makna, karena dalam lafal Al fatihah yang kubaca yang muncul hanya pikran-pikiranku mengenai masalah di dunia. Astaghfirullah. Lalu akan pergi kemana aku dengan sholat yang begitu tak bermutu?.
Menurut Bu Ghalina semua dosa pasti akan dibalas oleh Allah, sehingga setiap ada musibah yang menimpa sahabat, yang dia kemukakan ”Mungkin itu adalah dosanya, kurang amal sih, jadi kemalingan deh tuh, rasain akhirnya Allah mengambil juga dengan paksa, Makanya Bu, jangan pernah lupa sodaqoh dan berinfaq, supaya kita jauh dari kejadian yang dialami oleh si Parti”, katanya berapi-api seolah ustadzah yang sedang ceramah. Sekali lagi aku bergidik. Selama ini aku selalu pelit. Bukan berarti aku tidak mau beramal, tapi aku masih merasa kekurangan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri. Tuhan, beri aku ampunan. Kapan aku beramal kalau aku harus menunggu berlebih. Manusia tak akan pernah puas. Tak pernah mencapai puncak. Selalu muncul puncak puncak yang lebih tinggi ketika kita meraih satu puncak tertentu. Ah, harusnya aku mulai berbagi. Lebih dari sekedar senyum dan amal amal kecil yang keberikan pada para peminta dana. Itupan hanya recehan yang tak ada harganya. Kalau bukan karena Bu Ghalina aku mungkin tak akan pernah ingat bahwa sesungguhnya hartaku yang sebenarnya adalah yang aku berikan pada mereka yang papa. Dalam hati, aku bertanya ”Apakah Bu Ghalina juga selalu bermurah hati dan berbagi rezeki dengan siapa saja? Alangkah bahagianya dia, dikaruniahi harta yang berlimpah sehingg bisa membaginya dengan orang-orang yang membutuhkannya.
Banyak dari kata-kata Bu Ghalina yang membuat aku bercermin dan berusaha mencoba untuk introspeksi diri. Sudahkan aku menjadi baik seperti apa yang dikatakannya? Pernah suatu saat ada rekan yang sedang mendapat rezeki. Dia berusaha membagi rezeki yang dia peroleh dengan cara mentraktir rekan-rekan kami makan di kantin. Satu persatu si rekan ini bertanya pada setiap orang, mau pesan makanan apa dari kantin. Tawaran itu juga diberikan pada Bu Ghalina yang baru saja memasuki ruangan. ”Bu Ghalina mau pesan apa?” tanya si pembagi rezeki dengan bahagia. Bu Ghalina menjawab, ”Eh, tunggu dari uang apa?” tanyanya menyelidik. Si rekan menjawab tanpa prasangaka, ”Ada deh”. Masih dengan wajah menyelidik,” Uang apa dulu?” Ngga mau saya makan dari uang yang tidak jelas dari mana datangnya. Untung si rekan ini punya sense of humor yang bisa diacungi jempol. Dengan santai dia menjawab, ” Oh, tenang, uang halal kok”. Percakapan singkat yang sebenernya aku tak ikut terlibat langsung, tapi cukup membuat aku bergetar. Sanggupkah aku mengajukan pertanyaan yang sama dengan yang ditanyakan oleh Bu Ghalina tadi kepada setiap orang yang menawari aku makan? Mungkin maksudnya untuk menjaga diri dari masuknya makanan haram ke dalam aliran darahnya. Etika sosialku menolak vulgarnya cara untuk menunjukkan bahwa kita beriman. Apakah kita harus berusaha memberitahukan kepada orang lain bahwa kita beriman, dan selalu memakan makanan bersih dan halal. Aku iri pada si rekan yang sanggup menanggapi tanya yang cukup riskan . Aku iri juga pada Bu Ghalina yang begitu kukuh dan siaga supaya tak masuk makanan semabarang ke dalam aliran darahnya. Aku bertanya pada Allah, Apakah aku cukup pantas untuk mengaku sebagai makhlukMu? Apakah aku cukup pantas menjadi umatmu yang baginda Rasululah. Terimakasih Ya rabb, Kau telah mengingatkan aku lewat percakapan sederhana mereka.
Aku tak henti-hentinya bersyukur pada Allah mempuyai teman seperti Bu Ghalina. Di sebuah pagi yang mendung, kebetulan kami bersama sama naik kendaraan umum menuju tempat kami bekerja. Dalam guncangan kendaraan butut yang ditambah dengan kondisi jalan yang memprihatinkan, Bu Ghalina memulai ceritanya, ”Eh, tadi saya malam takut banget. Anginnya kencang sekali, sampai-sampi tiang besi lapangan bulu tangkis yang ada di depan rumah saya bergoyang-goyang, miring kiri-miring kanan. Pokoknya ngeri.” Aku yang memang tidak tahu bahwa semalam terjadi angin kencang menjawab dengan santai, ” Oh Iya Bu, aduh semalam saya tidur sih, saking nyenyaknya sampai ngga kedengeran tuh. Emang jam berapa?’. Bu Ghalina menjawab dengan volume suara yang didengar oleh semua orang yang naik kendaraan umum itu. ” Jam dua malam Bu, waktu itu aku sedang sholat tahajud, makanya saya keluar sebentar untuk melihat keadaan”. Nah Lho? Rasa bertanyaku dalam hati, mengapa dia harus bercerita seperti itu di depan umum, serasa memenuhi dada. Bukankah itu Riya’ namanya. Apalagi?. Tapi Astaghfirullah aku segera mengganti pertanyaan itu dengan rasa syukur. Oh iya, sudah lama aku tidak menunaikan sholat tahajud. Apalagi semalam?. Bukankah angin kencang yang di bilang semalam akan berbahaya kalau menjadi angin badai. Dan itu berarti aku akan kurang berantisipasi kalau tidak dalam keadaan terjaga. Itu berarti aku akan tergolek menghadapi maut dalam keadaan yang tidur lelap dibuai mimpi. Tak seperti Bu Ghalina. Dia sedang dalam sholat malamnya. Untunglah kejadiannya tidak demikian. Dan aku? Tidak salah rasanya apabila merasa iri dan tersaingi oleh bu Ghalina karena rajin ibadahnya. Tak apa, Aku mensyukurinya dalam hati. Bukanlah Sang Nabi menganjurkan supaya kita berlomba-lomba dalam kebaikan. Ah... Aku juga harus rajin sholat tahajud. Insya Allah.
Memang kuakui bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi kalau kita menggunakan kelemahan orang lain agar tidak menjadi kelemahan kita sendiri merupakan usaha yang pantas dipertahankan. Kelemahan yang paling membuat merinding bulu roma adalah penyakit hati. Penyakit nonmedis ini juga sulit untuk dicari obatnya. Semoga tak pernah berani penyakit itu bersarang dalam hatiku. Naudzubillah. Kembali aku mendapatkan pelajaran dari Bi Ghalina dalam hal ini. Setiap ada rekan kerja yang mendapat rezeki yang besar, seperti membangun rumah atau membeli mobil dan sebagainya.Ada saja komentar miring yang keluar dari mulutnya. ”Kita kan sama-sama pegawai biasa. Kita saling tahu gaji kita masing-masing, darimana kali dapat uang buat bikin rumah gedung dan mobil mewah. Korupsi kali, Astaghfirullhalazim, jahat sekali saya ya, menuduh orang lain korupsi, tapi bukan apa apa sih, memang begitu kali. Gaji kita sebagai pegawai berapa sih? Semua orang juga tau.”
Tak ada secuilpun rasa turut bahagia ketika orang lain mendapat berkah dariNya. The negatif thingkingnya, bahwa semua orang salah, hanya dia sendiri yang benar. Semua orang banyak dosa kecuali dia sendiri yang suci. Semua orang makan uang haram, kecuali dia sendiri yang mendapat rezeki yang penuh berkah dan rahmat dari Allah.
Aku mengeluh dalam hati. Jangankan sampai terucap, menuduh dalam hatipun sudah merupakan hal yang tak dibolehkan oleh sang Nabi. Ya Tuhan, terimakasih telah Kau beri aku peringatan.
Entah mengapa aku merasa perlu berhati-hati bicara dan bergaul dengan Bu Ghalina. Tutur katanya yang manis kadang-kadang seperti menipu. Penampilan yang alim dan perhatian serta penuh simpati pada musibah yang diterima oleh orang lain terlihat begitu meragukan. Begitu ingin di perlihatkan pada orang lain. Seolah-olah ingin menunjukkan pada semua orang bahwa dia adalah sang sosialis yang penuh iba pada orang lain. Aku jadi teringat pada ajaran Sang Rosul. Jika tangan kananmu memberi, Jangan sampai tangan kirimu mengetahui. Ya Rosulku…. Aku begitu takut kalau-kalau aku setiap hari selalu menghitung-hitung jumlah kebaikan yang telah aku buat. Aku ingin selalu mengeingat kesalahan yang sudah pernah aku lakukan. Semoga terpacu semua syaraf di jiwa, bahwa dosa-dosa masih banyak bergelantung di pelupuk mata. Maka janganlah aku pernah menambah tumpukan dosa dengan membicarakan aib dan kesalahan orang lain. Apalagi hanya berbicara berdasarkan gelapnya syak wasangka dari hati yang muncul karena iri. Naudzubillah.
….
Sebuah pagi hari Minggu yang cerah, kami para tetangga saling bercengkerama sambil membersihkan jalan dan got di depan rumah masing-masing. Tak bermaksud untuk bergosip pagi-pagi, tapi kami hanya mengobrol dengan suara agak keras karena masing-masing berada di jalan depan rumahnya sendiri-sendiri. Para bapak sedang mengorek-ngorek got karena memang kemarin ada surat edaran dari ketua RT bahwa Minggu pagi ini kita harus melaksanakan kerja bakti di lingkungan rumah kami masing-masing. Walaupun agak jauh, tapi aku melihat Bu Ghalina dan keluarganya juga melakukan hal yang sama dengan kami.
Tiba-Tiba terdengar suara ribut-ribut dari ujung gang. Seorang ibu berteriak teriak dengan marah. Semua mata tertuju pada sumber suara. Ternyata pemilik suara itu adalah ibu Martha yang tinggal di RT 02. Bu Martha berdua bersama suaminya menuju rumah Bu Ghalina. Wajah Bu Martha merah jelas menampakan kemarahan yang amat sangat. Tanpa sadar kaki kami semua para tetangga melangkah mendekat untuk mengetahui apa yang sedang terjadi.
” Bu Ghalina dan Pak Shobri, sepertinya anda berdua orang yang alim, berpendidikan tinggi, terpandang di lingkungan ini, tapi kenapa kelakuan anda begitu rendah”. Bu Martha langsung menyeburkan kata-kata yang panjang ke arah keluarga Ghalina.
”Apa maksud Bu Martha?’, tanya Bu Ghalina tak mengerti.
”Jangan pura-pura tidak tahu”, sela Pak Robi, suami Bu Martha.
”Tapi jangan marah-marah dulu, mari silahkan masuk, ga enak dilihat tetangga,” Ajak Pak Sobhri.
” Tak usah. Lagian sekalian biar hal ini menjadi pelajaran bagi semuanya. Biar mereka tahu apa yang sudah anda lakukan. Begini Pak Sobhri, kenapa Bapak ingin membayar lunas rumah di ujung sana. Padahal Bu ghalina tahu bahwa rumah itu sudah mau saya beli. Bahkan saya sudah memberikan DP lima juta rupiah. Tega sekali Bu Ghalina ingin mendahului saya dengan merayu Pak satya”.
”Saya bisa jelaskan Bu,..” terbata-bata Bu Ghalina menjawab dengan wajah yang pucat pasi.
” Saya kesini bukan untuk minta penjelasan. Saya tahu betul apa yang sebenarnya terjadi, karena Pak Satya menceritakan pada kami. Bagaimana keluarga ibu datang ke rumahnya untuk membeli rumahnya. Pak Satya mengatakan bahwa rumah itu sudah laku. Katanya malah ibu dan Bapak bersedia melebihkan harga asalkan rumah itu dijual pada sampeyan berdua, wong Jawa tapi kok ora ngerti tata krama”. Saya hanya bermaksud menegur sampeyan berdua. Perbuatan macam begitu sungguh jahat dan hina. Saya yang bercerita sendiri pada anda bahwa saya sudah membayar DP rumah itu. Tapi kenapa dengan teganya sampeyan berdua datang ke rumah Pak Satya dan mengatakan bahwa Bu Ghalina dan Pak Sobhri bersedia membayar lebih lima juta, dari harga jadi yang diberikan Pak Sobri ke saya?”.
”Ooohh..jadi begitu ceritanya’, gumam para warga yang sedari tadi diam membaca suasana, sekarang mulai mengangguk-anggukkan kepala tanda paham terhadap persoalan. Ada yang mengatakan, ”Oh memang Bu Ghalina dan suaminya yang salah”. Sementara yang lain hanya mengiyakan sambil terus melihat apa lagi yang akan terjadi. Ada yang bergumam ”Tega banget ya, Bu Ghalina dan suaminya, padahal kan mereka berasal dari daerah yang sama”.
Sementara bu Ghalina kelihatan pucat, tak bisa berbicara apa-apa. Suaminya terlihat gagap mau berbicara, ”Kami……..”,
Tapi Pak Robi segera menghentikan satu kata yang baru keluar dari mulut suami Bu Ghalina, ”Kami hanya bermaksud mengingatkan Bapak dan Ibu, jangan sampai kejadian ini sampeyan lakukan pada orang lain. Untung Pak Satya adalah orang yang paham akan ajaran agama. Dia merasa sudah deal dengan saya mengenai jual beli rumah itu, jadi berapapun uang yang akan ibu suap ke Pak Satya, tak akan berhasil. Sungguh saya bahagia masih ada orang-orang seperti Pak Satya. Tapi saya juga sedih, mengapa masih ada orang-orang seperti sampeyan berdua,’ nada bicara Suami Bu Martha lebih tenang. Tapi masih sarat dengan amarah. ”Sudah Bu, ayo kita pulang, tak ada gunanya kita berlama-lama di sini”, kata Suami Bu Martha sembari menggandeng tangan istrinya. Mereka berjalan menjauh tanpa menoleh-noleh lagi. Tak juga bersapa dengan kami.
Warga yang sedari tadi terpaku, merasa terkejut dengan ending tiba-tiba dari Pak Robi. Segera masing-masing melangkah pergi dan berjalan menuju rumah masing-masing sambil berbisik-bisik. Rata-rata mencibir dan menyalahkan keluarga Ghalina. Masih terkejut dengan reality show ironis yang penuh konflik, tapi ending yang terlalu cepat dan gamang.
Termasuk aku. Berjalan dengan segala macam pikiran menggayut di kepalaku. Sejahat itukah Bu Ghalina?. Selama ini aku bercermin padanya. Apakah ini jawaban atas pertanyaan dan kegamanganku selama ini bergaul dengan Bu Ghalina. Ah, tapi................Aku hanya mengambil hikmahnya saja. Toh kalau berlian, walaupun keluar dari mulut binatang haram sekalipun,... masih akan tetap berlian.


cerpen



CINTA BUAT ASTUTI
Astuti, cewek manis berperawakan tinggi semampai, dengan jilbab yang tak pernah lepas dari kepalanya serta senyum lembut yang selalu menghiasi bibirnya. Namun siapa sangka Astuti terkenal garang dengan makhluk yang namanya cowok. Apabila ada yang menggoda cewek ini di pinggir jalan dia selalu memasang tampang yang judes dan bete abis. Tak jarang dia menimpuk batu cowok-cowok yang suka nongkrong di pinggir jalan hanya karena bersuit-suit menggoda. Aduh..pokoknya ada ada saja hal-hal yang dilakukannya sebagai protes ketidaksukaannya pada cowok yang suka jahil padanya.
Termasuk salah satu teman sekelasnya yang selalu menggodanya setiap hari. Cowok usil, begitu Astuti menamai cowok itu dalam hati. Setiap hari ada saja hal-hal yang dibuatnya untuk membuat Astuti jengkel. Kalau meminjam sesuatu, pasti dikembalikan dalam kedaaan yang tidak OK lagi. Kalau meminjam penggaris Selalu pulang dalam kedaan patah menjadi dua. Kalau meminjam penghapus pensil, selalu dikembalikan dengan tulisan I♥U. Kalau ada guru yang memberi kesempatan pada siswa untuk memberikan tanggapan pada materi pelajaran, selalu dia nyeletuk “Astuti Buuu”.
Astuti merasa keki habis, setiap hari dikerjain seperti itu oleh Satria. Ekspresi tak suka selalu dia perlihatkan setiap kali Astuti bertemu pandang dengannya. Tak Jarang kegenitan Satria membuat hari-hari Astuti seperti di neraka. Kenapa sih ada lo di kelas inis?. Apa ga ada yang lebih Ganteng gitu? Apa ga ada yang lebih simpatik caranya berteman? Rutuk Astuti dalam hati. Dia tidak mau terlibat dengan apapun yang berkaitan dengan Satria. Tapi ia merasa seperti mendapat kutukan. Setiap ada tugas kelompok, Satria selalu berada di kelompoknya, setiap ada praktikum biologi, Satria selalu menjadi anggota kelompoknya.
“Ya..Ampun.. apa sih salah dan dosaku?”, keluh Astuti pada teman sebangkunya, Vena. “Masak kelompok studi wisata gue juga satu kelompok sama kunyuk itu? Bosan tau Ven, dijahilin melulu. Ngidam apa kali emaknya, hingga gue jadi sasaran melulu”
“Lo nya aja yang telmi, masak lu ga ngerti juga kalo Satria naksir sama lo?” Setengah mati Astuti membelalak mendengar apa yang dibilang sahabatnya. “Masak naksir begitu Ven, babak belur gue dikerjain”, sembur Astuti tak habis pikIr akan dugaan sahabatnya itu.
“Ya, namanya juga cari perhatian. Lain kepala lain isinya kan Neng,’ jawab Vena santai. Cara seseorang untuk menarik perhatian kan beda-beda”.
“Ah Lunya aja kali yang lagi telmi. Dimana-mana, orang yang lagi jatuh cinta tuh, ya ngirim bunga, sms mesra, ngasih coklat berbentuk hati, ngucapin selamat pagi, dan hal –hal lain yang romantis gitu. Bukannya kayak Kunyuk satu itu, tiap hari kerjanya bikin gue bete setengah mati,’’ Astuti tak mau kalah, tetap bertahan sama argumennya.
“ Udah,udah… mana pernah ada sejarahnya sih, gue menang debat ama lo?”. Kata Vena berusaha menutup pem,bicaraan. “Mending ngomongin hal lain yang bikin otak seger abis belajar fisika yang gurunya gualak minta ampun.
Sudah seminggu sejak obrolannya dengan Vena, Astuti merasakan rasa tenang dan aman dari gannguan. Pasalnya Satria tidak masuk sekolah karena sedang mengikuti orangtuanya pulang keluar Jawa. Tak henti-henti ia bersyukur dalam hati karena Satria tidak masuk sekolah. “Yang lama dong mudiknya” pintanya dalam hati.
Tepat seminggu Astuti tidak bertemu dengan Satria. Kabar yang terdengar selanjutnya adalah bahwa Satria sedang dirawat di rumah sakit. Walaupun dengan sedikit ketidakrelaan, Astuti ikut juga rombongan yang akan menjenguk Satria di rumah sakit. Ah, nanti juga sembuh, pikirnya. Di perjalanan menuju rumah sakit, Astuti mendengar berita yang membuatnya terkejut. Ternyata Satria sakit Leukimia, yang sudah diidapnya sejak empat tahun yang lalu. Sekarang untuk kesekian kalinya Satria harus dirawat di rumah sakit karena kecapaian pulang dari Palembang. Oh, parah juga rupanya sakit si Kunyuk itu”, kata Astuti dalam hati.
Sampai di rumah sakit, kejutan lagi yang didapatkan oleh Astuti. Ia bertemu dengan ayahnya di sana. Ternyata Satria adalah anak Bos ayahnya. Duh, sempit amat sih dunia? Masih merutuk. Masih takjub karena apa yang terjadi, tiba tiba terdengar jeritan tangis dari dalam ruang perawatan satria. Kami semua yang berada di luar ruangan segera menghambur masuk untuuk mengetahui apa yang terjadi.
Sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Mamanya Satria memeluk Tubuh Satria yang sudah sangat kurus, wajahnya sangat pucat seolah sudah tak ada sinar kehidupan lagi. Ternyata Satria sudah meninggal.
Tiba-tiba terbayang di depan mata Astuti semua tingkah laku Satria yang selama ini terhadapnya. Rasa kehilangan selama dua minggu ini ternyata dijawab oleh fakta yang sangat menyedihkan. Ya, Astuti merindukan semua keisengan yang dilakukan Satria padanya setiap hari di kelas. Semula ia tak menyadari bahwa itu semua berarti, tapi setelah Satria pergi. Ternyata rasa cinta tak selalu terungkap dalam bentuk romantisme yang indah-indah saja. Bahkan rasa sayangnya untuk satriapun selama ini tertutup oleh rasa jengkel karena keisengan satria.
Airmata Astuti mengalir deras di suatu senja ketika dia sengaja datang ke makam Satria untuk mengakui semuanya. Dia duduk depan pusara yang masih merah tanahnya. “Padahal Satria, masih banyak yang ingin aku ungkapkan padamu, masih banyak waktu untuk kita menulis cerita, tapi ternyata aku salah sangka. Seandainya aku bisa memutar waktu untuk kembali ke hari-hari kemarin. Tentu tak akan sama hari-hari yang Sudah berlalu. Tentu akan lebih manis pena diary itu menggoreskan tinta kenangan yang menggema di jiwa. Satriaku,... selamat jalan..............

cerpen



PERGULATAN HATI LANGITA

Ya ampun…. Ga bisa bayangin gimana rambut indahku jika harus memakai jilbab. Pasti berkeringat, lepek, bau … ah pokoknya yang jelek jelek deh. Apalagi selama in yang paling aku banggakan dari penampilanku adalah ram,but indahku ini. Dia bak mahkota raja yang berharga yang membuat aku tampil percaya diri karena banyak yang iri akan keindahannya. Pokoknya skala satu sampai sepuluh, rambutku pasti akan menduduki posisi sembilan. Bukan sombong lho, emang begitu kenyataannya. Pokoknya patut dibanggakan, cocok deh buat iklan shampoo, produsernya aja yang belum ngeliat rambutku. Trus, tiba-tiba aku harus tutupi sesuatu yang indah ciptaan Allah ini? Bukankah Allah cinta akan keindahan? Dan kenapa pula harus ditutup ? Engga dech………..”
Sudah tiga bulan ini Langita mengikuti Kajian Rohaniah Islam yang diadakan oleh kampusnya. Setiap Minggu pagi dia rutin mengikuti kegiatan tersebut. Padahal dalam hati dia sedikit menyesalkan kenapa juga harus diadakan hari Minggu. Padahal hari Minggu kan saatnya untuk hanging out. Tapi toh tetap saja ia mengikuti kegiatan itu karena memang ia mau sedikit memperdalam pengetahuannya mengenai agama. Dan setelah beberapa lama ia mengikuti kegiatan tersebut, ada satu hal yang sangat mengganggu hatinya. Bahwa seorang wanita harus menutup auratnya. Dan bahwa ternyata yang selama ini dianggapnya aurat adalah cuma sebatas leher ke bawah dan lutut ke atas. Ternyata sa;lah besar Selama ini dia memandang wanita berjilbab hanya sekedar mengikuti fashion saja. Jadi hanya bersifat pilihan, boleh ya, boleh tidak. Gambaran fiqih mengenai hal itu sudah dijabarkan dengan sangat jelas oleh kak Rayhan, Mentornya di Kajian tersebut.
“God, what should I do? Soalnya aku ga bisa ngebayangin gimana jadulnya aku kalau harus jogging mengelilingi komplek perumahan dengan memakai stelan kaos training panjang, pake jilbab pula? Trus mau akau kemanain koleksi hot pants selututku yang bertumpuk di lemari? Lebih parah lagi suitan yang selalu aku peroleh ketika melewati komunitas kaum adam yang lagi pada nongkrong, apa ga akan berubah menjadi “Assalamu’alaikum Bu Hajiiii…” Pasti tengsin berat aku. Engga deh……
Bulan keempat minggu ketiga, Langita sudah mulai jengah dengan pandangan Rayhan ketika sedang memberikan materi kajian. Selama ini Rayhan tahu betul bahwa Langita hanya memakai jilbab ketika mengikuti kajian saja. Selebihnya berkali-kali Langita harus lari menghindar dari kakak seniornya di kampus itu. gara-gara dia hanya memakai celana jeans selutut dan kaos pas badan. Dan Langita merasa sangat salah tingkah walaupun Rayhan hanya memandang sekilas sekilas saja ke arahnya ketika sedang menguraikan hukum dan hadits mengenai wanita.
“Idih, kenapa aku merasa pandangan matanya begitu menusuk hatiku. Seolah olah mata itu menuding dan mencibir, “Hai Langita, Kok pake jilbanya kalau sedang ikut kajian aja? Apa Allah hanya berada di tempat kajian ini?” Begitu kira-kira aku menerjemahkan tatapan matanya kak Rayhan. Very handsome sih kakak yang satu ini. Eh, tapi kenapa pula aku harus mikirin dia. Who is he anyway? Siapa sih dia hingga aku selalu merasa bersalah jika memakai baju yang lagi trend? Saudara bukan, pacar juga bukan. Ih.. bodoh banget sih aku ini, ngapain juga aku harus merapatkan kerudung yang aku pake ketika yang memberi materi kajian adalah kak Rayhan
Langita menggelengkan kepalanya seperti ingin mengibaskan dan mengusir rasa sungkannya pada Rayhan, ustadz muda yang selalu sabar membimbing peserta kajian yang rata-rata memang sudah berjilbab setiap harinya. Tidak ada ajakan atau propaganda kampanye yang persuasive yang vulgar untuk memenuhi syariat Islam tersebut. Dari mulutnya hanya keluar senyuman, cerita perbandingan dan bahasa bahasa tersirat yang lembut tanpa menghakimi. Rupanya itu yang disukai Langita dari Rayhan. Cara dakwahnya yang halus dan tidak terkesan menggurui. Seandainya seluruh ustadz begitu, pasti orang tak lagi enggan mengikuti barbagai macam kajian Islam.
“Hari ini aku pasti ketemu kak Rayhan di rapat rutin dan apa jadinya kalau dia ngeliat aku pakai baju begini, terlalu pas dan ketat sehingga they can look my body shape. Dan itu… Ga Boleh. Ganti baju ahhhh. But Wait….Masa iya aku pake jilbab hanya karena malu pada seseorang, manusia lagi. Wah, ga bener nih… bukankah itu namanya riya’. Iya .. apalagi namanya kalau kita berniat menjalankan syariat Islam hanya karena malu sama seorang makhlukNya juga? Ih… kata kak Rayhan juga riya’ itu hukumnya… sereeem . Astagfirullahal ‘adzim .. Engga dech
Akhirnya Langita berangkat ke rapat hari itu tetap dengan kostumnya yang biasa , tetapi dia memilih celana panjang dan kaos lengan panjang, Cuma belum pakai jilbab Baginya itu sudah sangat sopan karena kostum itu jarang menjadi pilihannya ketika berdiri di depan lemari pakaian. Tapi akhirnya pakaian itu tak urung juga membuat ia merasa telanjang di tengah tengah para perserta rapat yang semuanya memakai jilbab kecuali para kaum adamnya (Ya iyalah, masak cowok pake jilbab). Terpaksa ia memilih tempat duduk paling belakang yang paling terlindung dari pandangan para pimpinan rapat di depan and especially dia bisa terhindar dari tatapan mata cool Rayhan yang hanya sekilas saja tapi cukup membuat dadanya berdesir kencang dan…
“Bukan kak Rayhan yang membuatku ingin memakai jilbab . Bukan,…. sama sekali bukan. Ok aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa bukan karena seseorang. Aku ga akan menodai niat suciku dengan urusan seperti itu. Aku harus memakai jilbab untuk hatiku terlebih dahulu. Ya, hatiku harus lebih dahulu berjilbab, hatiku harus jauhdulu dari penyakit iri, dengki, prasangka buruk dan yang naudzubillah lainnya. Buat apa pake jilbab kalu kelakuan minus. Ga lucu kan? Baru setelah hatiku OK , aku akan memakai jilbab dengan perasaan tenang dan penuh percaya diri. So? Not now …….
Bulan kelima Langita masih setia mengikuti kajian muslim itu. Dia tidak lagi memperdulikan tatapan mata Rayhan, dia tidak lagi memikirkan apakah siulan yang biasa di dapatnya dari kaum Adam akan berubah menjadi assalamualaikum Bu haji. permisi aku permisiii …..Langita memulai urusan proses pembenahan diri yang dia sebut sebagai memakai jilbab untuk hatinya. Ia ga mau hatinya penuh dengan prasangka ke orang lain, penuh pertimbangan pada komentar orang lain. Gimana kalau orang lain berpikiran gini, gimana kalau orang lain berpikiran gitu. Dalam hati terpatri “OK ,Someday I will wear that holy jilbab “
Hari –hari selanjutnya yang dilalui langita berjalan seperti biasa. Hanya pilihan busananya sudah berubah. Tank top tak lagi menjadi favoritnya. Topi juga tak pernah alpa menghiasi rambutnya yang indah. Jeans ketat? Good bye my love deh pokoknya, itu semua dilakukannya murni dari hati. Jilbab yang sudah menumpuk di lemarinya saksinya. Ia tidak ingin salah melangkah bahwa ia memakai busana itu bukan karena siapa- siapa. Bukan juga karena kak Rayhan yang pernah membuat hatinya tertawan.
“ Demi Engkau Ya Allah, hanya demi Engkau, ayat demi ayat yang aku kaji bagaikan embun yang membasahi padang gersang hatiku memberikan kesejukan di perjalanan hatiku yang lelah. Memberikan keyakinan yang mutlak dan tak terbantahkan. Bahwa semua dariMu dan akan kembali padaMu
Air mata sering mengalir deras dari sudut matanya dalam setiap sujud tahajudnya ia selalu meminta kepada Allah untuk diberikan kekuatan menghadapi dunia yang semakin tak karuan. Ia memohon kekuatan supaya menjalankan ibadahnya tanpa keengganan.
Bulan ke tujuh langita mengikuti kajian seperti biasa. Suasana di tempat kajian terlihat tidak kelihatan seperti biasanya, semua kelihatan muram. Bahkan terdengar isakan lirih dari kerumunan para cewek. Beberapa koodinator kajian terlihat agak sibuk dan serius membicarakan sesuatu. Langita datang masih dengan wajah bertanya-tanya. Mulutnya sudah hampir terbuka untuk mengucapkan salam tapi keburu suara loudspeaker melengking tinggi tanda belum stabil. Beberapa saat masih terdengar ga enak di telinga, tapi setelah hening sejenak terdengar sebuah salam yang lirih dan seolah tercekat di tenggorokan. Ternyata pemilik suara itu adalah kak Fadli, salah satu koordinator Kajian. Belum selesai Langita terheran-heran mendengar salam yang terdengar serak dan ragu itu, tiba-tiba si pemilik suara melanjutkan dengan..
Innalillahi Wa Inna lilllahi Rojiun
Kullu nafsin dza iqotul maut.
Telah berpulang dengan tenang saudara kita tercinta
Rayhan Numa………………
Tak sanggup rasanya L:angita menahan berat tubuhnya yang limbung mendengar pengumuman singkat itu. Bahkan mulutnya tak sanggup mengucap…
Lidahnya kelu…
“Ya Allah, Kak Rayhan meninggal? Tidak terlalu singkatkah Engkau memberinya waktu untuk menikmati indahnya dunia ini Ya Rabb? Dia masih begitu muda, begitu alim, cerdas dan Insya Allah bermasa depan cerah. Wajah cool yang selama ini aku tuduh sebagai pengganggu hatiku, pengganggu konsentrasi ibadahku sekaligus aroma yang membuat wangi hari-hariku…”
Rombongan kajian langsung menuju rumah duka untuk ta’ziah dan melepas kepergian Rayhan. Prosesi pemakaman mereka lalui dalam diam. Tak henti airmata mengalir deras dari sudut mata Langita. Menatap tanah merah yang sedikit demi sedikit menutup makan kak Rayhan. Semakin sesak Langita menahan tangisnya supaya jangan bersuara…
“ Bukan Kak Rayhan Ya Allah yang aku tangisi. Aku menangisi diriku sendiri. Bagaimana aku akan menjawab semua pertanyaan para malaikat seandainya aku yang menjadi jenazah itu. Sedangkan aku masih telanjang. Ya, aku masih telanjang. Bagaimana kalau nanti sore, esok atau lusa aku yang terbujur kaku, memakai kain kafan putih, dengan kapas yang menutup mata dan telingaku? Ya Rabb, aku belum siap Kau jemput, karena…………. aku masih menunda-nunda untuk menjalankan perintahMu. Aku telah menggunakan berbagai dalih dan alasan untuk menunda memakai jilbab. Aku terlalu sombong, angkuh dan takabur, terlalu yakin bahwa Allah akan memberi kesempatan yang panjang untuk menghirup udara segar di muka bumi ini. Aku manusia bodoh yang pura-pura ingin memakaikan jilbab di hati terlebih dahulu sebelum menutup kepala ini dengan jilbab. Padahal itu semua hanya mencari pembenaran atas kesalahan dan mengingkari Al Quran.
Aku terlalu naïf dan telah melakukan tawar menawar tolol dengan Allah, Astagfirullahal azim….. Ampuni hambamu ini ya Rabb……
Tiba-tiba Langita berlari dan berlari. Ia meninggalkan pemakaman itu tanpa peduli lagi pada siapapun. Ia ingin secepatnya melakukan sesuatu yang selama ini selalu ia tunda untuk menjalankannya. Ia ingin secepatnya pulang dan menutup semua auratnya yang selama ini ia pertontonkan pada semua orang. Sesampainya di rumah ia menghambur ke kamar dan membuka lemari pakaiannya. Ia meraih tumpukan jilbab yang selama ini sudah ia koleksi. Ia merangkumnya dalam dekapan sambil berurai airmata. Kemudian masih sambil menangis ia terduduk lemas….
“Terimakasih Kak Rayhan, maafkan aku jika hidayah itu datang padaku lewat kepergianmu. Selamat jalan kak Rayhan, Semoga Allah menerima semua amal dan ibadahmu di sisiNya. Amin.