Monday, March 23, 2009

Friday, March 20, 2009

Ini tentang anak-anak kembarku lagi. Apakah sudah sewajarnya bahwa anak kembar selalu berantem sehari-harinya?. Aku kadang kadang kewalahan dengan pertengkaran mereka yang tak ada habis-habisnya. Mereka mempunyai banyak teman. Mereka peduli dengan teman-teman mereka. Kalau mempunyai makanan selalu dibagi dengan temannya, kalau dikasi uang jajan selalu dibagi dengan temannya. Tetapi sebaliknya, antar mereka berdua sendiri yang saudara kembar identik, selalu mempertengkarkan sesuatu hal yang menurutku remeh temeh dan sepele.
Kadang aku kewalahan dengan jiwa sosial mereke berdua. Makan di kulkas selalu cepat raib kalau mereka membawa pasukannya ke rumah. Kalau ada es krim di freezer selalu bikin pengumuman bahwa dia punya sesuatu yang bisa dinikmati bersama. Tapi bila sudah berdua, waduh nek......setengah mati cara mengatasinya.
Aku pernah mengalami menjadi anak-anak. Tapi belum pernah mempunyai pengalaman menjadi orangtua. Semua hanya berdasarkan insting dan naluri orangtua saja. Banyak referensi yang aku baca, tetapi rasanya belum cukup untuk menjadi ekspert di bidang pendidikan anak ini. Situs sekolahorangtua.com selalu aku ikuti, bahkan aku berlangganan news letternya. Tapi rasanya aka masih haus banget akan modal kesabaranku untuk menghadapi dua anak kembar hiperaktifku.... hosh.....

Ini dia mereka......

Jumat, 20 Maret 2009

Anak-anakku adalah sebuah dunia asing yang sulit untuk dipahami. Kadang-kadang aku terlalu marah dengan kenakalan konyol mereka. Mengapa begitu sulit mengendalikan emosi ketika berhadapan dengan mereka. Aku sadar betul bahwa teriakan tak akan menyelesaikan masalah, tapi... emosi seringkali berbicara daripada logika. Sulit sekali untuk mengeluarkan kata-kata lembut untuk tingkah yang sangat menuntut kesabaran. Aku kadang kadang merasa terlalu keras mendidik anak-anakku tapi... mudah-mudahan itu berguna untuk mereka. Bahwa apa yang mereka inginkan tak akan selalu dapat dipenuhi... bahwa mereka harus bisa menyelesaikan perbedaan.

Dede..Koko.. Dengarkan mama ingin bicara...
Dede dan koko adalah anak kembar yang lahir dari perut mama. Kalian berdua sama-sama berada di rahim mama selama kurang lebih sembilan bulan. Walaupun kalian kembar, tetapi kalian bukanlah anak yang sama. Dede mempunyai kesukaan sendiri, koko juga mempunyai hobby yang lain dengan hobby yang dimiliki oleh Dede. Koko dan dede dua-duanya adalah anak mama yang mama sayangi. Mama sayang sama koko, mama juga sayang sama Dede. Dede sama Koko tidak perlu bersaing untuk mendapatkan kasih sayang mama. Mama tidak akan pernah membedaka bedakan kalian. Semua akan mendapat cinta mama.
Friday, March 20, 2009

GENERASI GAMANG

Aduh, rasanya sedikit kalut juga dengan permasalahan siswa di sekolahku. Seorang rekan guru, selalu melibatkan aku dalam memproses kasus dan kenakalan siswa. Jadi sedikit banyak aku mengetahui kasus apa saja yang terjadi pada remaja remaja pinggiran Jakarta ini di sekolahku. Dan akhir-akhir ini, kasus yang ada selalu berkaitan dengan siswa putri. Permasalahan dan kasus yang terjadi benar-benar membuatku tercengang-cengang tak habis mengerti. Remaja sekarang sungguh sudah berbeda dengan masa remajaku dulu. Arus informasi dan teknologi benar benar merusak dan menjadikan mereka sosok yang serba tahu hal ha yang dulu dianggap tabu. Internet bak dewa penolong yang maha tahu. Malu bertanya maslah seks pada guru atau ortu, mereka punya internet yang akan menjawab dengan lebih jelas dan tanpa batas. Walhasil,,,Kenakalan semakin meningkat, penyalahgnaan narkoba, minuman beralkohol, pergaulan bebas,dan pelacuran tngkat rendah yang booming di kalangan siswa. Tak hanya satu dua yang menyatakan bahwa dirinya sudah tidak perawan lagi. Semuanya diakui tanpa rasa bersalah dan tanpa ada nampak penyesalan terhadap perbuatan yang sudah dilakukannya. Prostitusi dini yang rela dilakukan hanya demi selembar dua lembar limapuluhan ribu, Astagfirullah.
Kalau direnungkan, aku sedikit bingung dalam menilai mereka. Apakah mereka terlalu bodoh sehingga larut saja dalam arus jaman, atau mereka justeru terlalu pintar sehingga banyak melakukan hal hal yang sebetulnya merugikan mereka sendiri. Bahkan merokok bukan suatu hal yang mengagetkan lagi. Di lingkungan sekolah di larang merokok, tetapi begitu sudah keluar dari lingkungan sekolah, di jalan, di mal, di keramaian, mereka yang berseragam santai mengepulkan asap rokoknya tanpa dosa.
Seorang siswa, gadis, sebut saja namanya Fara, latar belakang orangtua yang tidak mampu ternyata bisa membuat seorang gadis menjadi pribadi yang terlalu cuek dengan lingkungan, cenderung berbuat semaunya, kurang bisa menerima kenyataan. Tak peduli berapa banyak sanksi yang telah dialami. Semua pendekatan psikologi sudah ditempuh, shock terapi dengan skorsing 2 minggu justeru membuat dia merasa bebas, terakhir dia kedapatan sedang minum-minuman keras di belakang sekolah. Astaghfirulah..
Kami benar-benar kebingungan dalam mengambil keputusan. Prosedur resmi sudah cukup untuk mengembalikan anak tersebut ke orangtuanya, Tetapi.. Ujian Nasional kurang 2 bulan lagi. Itu berarti bahwa kelulusan sudah di ambang mata. apakah tidak terlalu kejam apabila kami mendropoutnya? Sementara kesalahannya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kalau kami mempertahankan dia, demi hati nurani, lalu apa anggapan siswa lain yang mengetahui adanya kasus tersebut. Bukankah hal itu akan membuat mereka beranggapan bahwa sekolah lemah, dan beranggapan bahwa kesalahan fatal seburuk apapun toh akan dimaafkan oleh sekolah sehingga mereka tidak aware lagi dan tidak sungkan untuk melakukan kesalahan yang sama.
Fara, kelihatannya raut wajahnya tak merasa apa-apa ketika kami membina, menasihati, sampai memarahinya. Seolah dia tak punya hati. Menatap dengan kosong, mendengar sambil lalu ocehan para guru. Pernahkah anda bayangkan betapa sakit rasanya ketika anda sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengambil hati, menyentuh hati serta membina anak didik anda? Tetapi yang anda dapat hanya tatapan mata tak ada arti.Yangada anda hanya membuang buang energi. Dan lebih sedih lagi, anak anak sejenis Fara bukan hanya satu, semuanya punya latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang punya latar belakang broken home, single parent, terlalu dimanja, dan terlalu bergelimang harta.
Lalu kami sekolah, sebagai lambaga yang bertugas mendidik dan mempersiapkan mereka unuk bisa melaksanakan tugas perkembangannya? Kelimpungan mencari solusi. Apa yang salah dengan program-program kami? Apakah kami sudah memerlukan psikolog untuk mengatasi anak anak di sekolah yang di kampung ini? Apakah sekolah sudah saatnya mempunyai klinik khusus yang menangani hal-hal yang di luar batas kemampuan kami. Renungan demi renungan berlalu dalam diam. Solusi apa yang bisa kami buat untuk membantu mereka mengatasi pubertasnya yang terasa terlalu berat. Apa yang bisa kami lakukan untuk membantu jiwa-jiwa haus mereka yang rindu mencari jati diri.....
Generasi muda, akan jadi apa Indonesia?
Kalau para pemudanya gamang menatap diri...
Masa depan jauh dari nurani....

Thursday, March 12, 2009

The beggining

Mungkin hanya aku yang merasa tak ada beban ketika membaca Surat Keputusan CPNS di Bumi Makmur Indah di Lembang Bandung kali ini. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak tahu dimana posisi Kecamatan Parungpanjang. Aku ditempatkan di sebuah sekolah Menengah Pertama di sebuah Kecamatan yang aku tidak tahun posisinya dimana. Tak ada rasa sedih, tak juga rasa riang gembira seperti yang diungkapkan oleh sebagian guru yang baru mendapat SK di perkotaan. Tak juga sedih bahkan menangis seperti pemandangan yang ada di sudut aula ini. Ternyata mereke ditempatkan di sebuah kampung yang jauh di pelosok desa, yang jauh darimana-mana. Dan aku, tak tahu aku harus merasa bagaimana karena aku tidak tahu dimana letak sekolah yang menjadi temapt mengajarku kelak. Yang jelas. Rasa syukur tak pernah lepas aku ucapkan dalam hati. Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah memberi sesuatu yang menjadi keinginan jutaan orang di bumi ini. Walaupun terkenal dengan gajinya yang kecil, PNS masih merupakan dambaan dari sekian banyak pendidik di Indonesia tercinta ini.
Ternyata setelah kami kembali ke dinas kabupaten masing-masing, baru aku tahu bahwa Parungpanjang juga termasuk daerah yang jauh dari jangkauan kota kabupaten. Tapi tetap tak mengapa karena bagiku mengajar dimanapun sama saja. Walaupun menjadi guru adalah bukan cita-citaku, tapi terbukti aku bisa mencintai pekerjaan ini. Dan sekarang berarti telah tiba saatnya aku harus mengabdi dan menunjukkan dedikasiku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk calon murid-muridku. Parungpanjang, here I come.....
Dari Depok, aku harus menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 100 kilometer. Naik angkot dulu menuju Parung, kemudian berganti Bus Jurusan Tangerang dan turun di stasiun Serpong, kemudian naik kereta jurusan Rangkas Bitung dan baru kemudian turun di Stasiun Parungpanjang. Tadinya aku merasa perjalananku sudah selesai, ternyata SMP 2 parungpanjang bukan berada di kota kecamatan, tapi nun jauh di dalam perkampungan yang kurang lebih 10 km dari kota kecamatan.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam barulah aku sampai di sebuah sekolah yang berada di tengah-tengah padang gersang. Tak ada pepohonan yang besar dan rindang, hanya ada rumpun-rumpun perdu yang tumbuh segan mati tak mau. Aku menatap dengan penuh takzim. Akan berapa lama aku berada di sekolah ini? Akan seperti apa aku menggoreskan sejarah di Unit Gedung baru ini.
Hingga sekarang, dua tahun aku disini. Semua masih sama seperti dulu ketika aku datang. Hanya perubahan-perubahan kecil yang terjadi. Begitu juga siswa siswa di sini. Makin hari makin aku merasa menemui kesulitan dalam mengajar di kelas. Walaupun aku menganngapnya sebagi tantangan, tapi aku merasa seolah-olah tak berhasil memuat perubahan. Latar belakang orang tua yang berpendidikan rendah membuat semakin terpuruk aku merasa manahan beban. Aku selalu berusaha menjadi terbaik di segala sesuatu yang aku kerjakan. Berbagai cara sudah aku lakukan untuk menarik siswa supaya mempunyai minat belajar yang tinggi. Berbagai inovasi sengaja aku cari-cari supaya aku bisa menjadi seorang guru yang mencerahkan.
Anehnya, aku tak melihat semangat yang sama dengan rekan-rekan kerjaku. Semuanya seolah tidak mau peduli dengan kedaan siswa. Seolah mengajar hanya berguna untuk menggugurkan kewajiban saja. Mereka tak perduli hasil yang dicapai siswa. Bahkan sampai dimana daya serap siswa pun seolah tang mereka pedulikan. Yang muncul hanya keluhan-keluhan tanpa solusi. Bahwa murid-murid sulit diatur, di kelas maunya tidur, entering behaviornya minus, fasilitas sekolah kurang dan sebagainya. Semua permasalahan muncul dan hanya menjadi keluhan formalitas yang akan segera terlupa waktu. Rata-rata dari mereka sudah pasrah menerima keadaan. Mungkin sudah terlalu lelah menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah. Banyak di antara mereka yang harus menempuh tiga jam perjalanan yang melelahkan. Belum lagi harus berjubel naik kereta jurusan Rangkasbitung yang kondisinya sudah tidak layak lagi untuk angkutan umum sebenarnya. Tapi sekali lagi itulah Indonesia.
Tak ada yang berusaha mencari solusi. Batu loncatan, itu istilah mereka. Mereka hanya menunggu waktu untuk bisa dipindahkan ke sekoleh yang dekat dengan rumah mereka. Aku tidak menyalahkan mereka. Mereka diangkat menjadi Pegawai Negeri dalam keadaan sudah berumahtangga, punya suami dan temapt tinggal tetap. Jadi, mau tak mau harus mereka jalani pekerjaan mendidik ini walau hanya menggunakan sisw-sisa tenaga mereka yang sudah terkuras habis di perjalanan. Jadi, yang penting hadir di kelas, mengajar dan kalau sudah habis waktunya keluar kelas, tanpa beban yang menghimpit di kepala. Sejauh mana teknik pengajarannya yang digunakanya berhasil dicapai. Bagaimana agar siswa tertarik dengan pembelajaran di kelas, bagaimana menorganisasi semua perlatan seadanya menjadi satu orkestra indah yang bergaung di seluruh kelas. Hanya mimpi di siang bolong.
Kadang-kadang aku terhanyut dengan pasrahya mereka menghadapi keadaan. Tapi aku selalu berusaha untuk bangkit, paling tidak membangkitkan semangatku untuk menjadi agen pembelajaran yang berhasil. Aku sibuk membaca dan mencari-cari di internet tentang tip dan trik pembelajaran seperti apa yang bisa diterapkan di kondisi dan suasana seperti di sekolah yang aku ajar ini. Aku selalu memikirkan dengan cermat skenario pembelajaran yang akan aku laksanakan di kelas. Aku slalu menggabung metode pembelajaran yang selama ini aku banyak baca dari buku. Untuk permasalahan materi ajar, aku tak pernah merasa kesulitan, karena aku rajin ke warnet yang hanya satu-satunya di kota kecamatan. Itupun mempunyai kemampuan loading yang memprihatinkan. Tapii cukuplah, daripada tidak sama sekali.
Kadang-kadang aku menemukan kepuasan yang tak terkira ketika menyelesaikan sebuah kelas. Aku merasa mata-mata mereka penuh ceria mengikuti instruksi proses pembelajaran yang aku lakukan. Senyuman, acungan jari, tepuk tangan dan tanggapan antusias membuat aku seolah-olah aku mau meninggalkan kelas. Kalau sudah seperti itu ingin rasanya aku teriak sekeras-kerasnya. Aku berhasil melakukan proses KBM yang memuaskan. Kemudian akan dengan sangat ceria aku menceritakannya di sebuah buku harian.
Namun tak jarang aku merasa kecewa bukan kepalang atas hasil pengajaran yang aku temukan. Seolah-olah rencana yang telah aku buat dengan matang gagal total entah kerana apa aku tak menemukan jawabannya. Kondisi siswa yang berbeda dan suasana yang kurang mendukung, atau bagaimana kadang aku menemukan jawaban dari kegagalanku, tapi kadang juga tak kutemukan sama sekali apa penyebab dari kegagalanku.
Kesabaran. Salah satu kata yang aku pegang teguh dari pertama dulu aku mulai mengajar. Pertama kali aku mulai benar-benar mengajar aku cenderung galak dan penuh permusuhan ke siswa. Apabila ada siswa yang bertingkah sedikit saja, itu sanggup membuat aku mengomel di kelas untuk waktu yang lama. Aku merasa posisiku waktu itu adalah sebagai penguasa kelas. Jadi siswa harus mematuhi perintahku. Aku menganggap mereka meremehkan dan menghina aku apabila mereka bercanda di kelas. Jadi Pengelolaan kelasku waktu itu mungkin hanya dipenuhi oleh ketenangan palsu yang aku buat karena rasa gentar siswa terhadap ketegasan dan kegalakannku.
Namun waktu yang mengatasi segalanya. Rasa arif dan sabar mulai muncul sedikit demi sedikit. Siswa tak lagi aku anggap sebagai anak-anak yang harus aku tundukkan. Tetapi mereka hanya makhluk-makhluk remaja yang sedang menempuh proses pendewasaan. Kadang aku memposisikan diriku sebagai kakak, Ibu, Ayah, dan tak jarang aku memnempatkan posisiku selevel dengan mereka. Sehingga aku benar-benar tahu apa yang mereka inginkan. Aku berusaha menonton apa yang mereka tonton, aku berusaha mengikuti perkembangan bahasa gaul yang mereka suka. Aku memanggil mereka dengan nama nama kesukaan mereka, bahkan kadang aku lupa siapa nama nama sebenarnya dari mereka. Rata rata dari siswa siswaku memakai nama gaul, ada yang black, begeng, alay, ciprot dan sebagainya. Aku berusaha masuk ke dalam dunia mereka

Saturday, February 28, 2009

ATAS NAMA PENDIDIKAN
ANAKKU TERDEPAK DARI YAYASAN PENDIDIKAN QURANI

Membaca Laskar Pelanginya Andrea Hirata mengingatkan rasa sakit hatiku pada sebuah sekolah yang mengaku beryayasan Islam yang ada di daerahku. Pengabdian seorang guru yang digambarkan dengan begitu mulia oleh Andrea tak satupun menjadi indikator cerminan sebuah pendidikan TK yang dengan kejam mendepak anak anak kembarku dari sekolahnya dengan alasan demi pendidikan. Alasan yang muncul dari sang kepala sekolah hanya pemanis bibir yang tak bermutu dan semakin menambah buruk citranya di depan seorang wali murid seperti aku.
Betapa terkejutnya aku dan suamiku ketika mendengar keputusan “sekolah” yang disampaikan oleh Ibu kepala sekolah berjilbab itu. Kembar kami terlalu banyak aktivitas fisik sehingga berpengaruh buruk terhadap anak anak lain. Guru tidak bisa mengontrol yang lain apabila kembar terus berada di kelas mereka. Maka di akhir tahun pelajaran pertama, yang seharusnya anakku meningkat statusnya menjadi kelas B, dengan tak berperipendidikan mereka berharap dengan halus, kami memindahkan mereka ke TK yang lain. Anakku dianggap monster atau virus mematikan yang akan menjalari siswa lain yang ada di kelasnya. Ibarat seorang berpenyakit aids dan kusta yang harus diisolasi dari komunitas belajar yang bernama Taman Kanak-Kanak.
Atas nama pendidikan yang bagaimana, apabila kelincahan dan kecerdasan dianggap sesuatu yang tak tertahankan untuk dihadapi oleh seorang guru. Keangkuhan dan kemalasan yang tak mau menghadapi tantangan profesi. Solusi yang mereka ambil adalah solusi pengecut yang yang lari dari masalah, bukannya memecahkan masalah.
Menyakitkan memang, tapi buat apa aku berdebat dengan orang yang terlalu sok pintar, menganggap diri pakar dalam menghadapi anak kecil, tapi dengan alasan tega men DO kedua anak kembarku. Ya. Apalagi namanya kalau bukan itu. Kata-katanya masih terngiang-ngiang di telingaku “ anak-anak saya dari kecil sudah saya ajarin menjadi anak-anak yang nurut sehingga mereka tidak menjadi liar dan salah asuh, Mereka bisa menyesuaikan dengan aturan main yang saya buat di keluarga saya, Tak pernah ada keributan yang berarti di rumah karena mereka saya didik dengan baik”.
Kalimat-kalimatnya tersebut jelas ingin mencitrakan bahwa dia adalah seorang ibu dan pendidik yang berhasil membuat anak-anaknya patuh terhadap semua perintahnya. Dan jelas ingin menyampaikan pesan tersembunyi untukku kalau aku tak sanggup mengatur anak-anakku. Aku berpikir apakah sebagai seorang guru dia tidak mempelajari psikologi pendidikan dan Ilmu perkembangan peserta didik.
Setiap individu adalah pribadi unik yang diciptakan oleh Allah secara khas dan special dan berbeda dengan orang lain, bahkan kembar identik sekalipun. Bukan salah anakku kalau mereka tiap hari membongkar-bongkar meja kerja sang guru, menaiki rak buku untuk mengambil buku yang berposisi di rak yang paling atas, menumpahkan air minum di gallon, berlari-lari ke sana kemari, Bukan salah mereka kalau energi mereka meletup-letup penuh vitalitas tanpa rasa capek. Tak ada satu bendapun yang luput dari perhatiannya. Semua ingin disentuh, semua ingin diamati, apa ini, apa itu, sebuah kewajaran yang dimiliki oleh anak usia 4 tahun.

Aku memandangi kedua jagoan kembarku yang sedang bermain rumah-rumahan dengan menggunakan karpet plastic kau yang jika digulung akan bisa berdiri tegak dengan menyisakan lubang ditengahnya sehingga keduanya masuk sambil tertawa-tawa. Berdesakan di dalamnya sambil tertawa-tawa tetapi juga diselingi dengan saling dorong karena merasa kurang leluasa bergerak. Begitu mudahnya mereka berkelahi lalu kemudian berbaikan. Keduanya bertukar setiap detik tanpa peduli dengan pandanganku yang terpana dengan tingkah laku anak-anakku itu.
Setiap hari aku menghadapi mereka, merayu mereka, membentak meraka dan sesekali memukul mereka karena kesalahan-kesalahan yang aku rasa tidak bisa ditolerir lagi. Tapi tentu saja pukulan keras yang aku ikuti dengan linangan airmata yang tak terbendung karena menyesal telah menyakiti buah hatiku itu. Setiap hari mereka mengaduk aduk perasaanku, bertukar antara marah yang tiada tara dengan haru yang luar biasa.
Anakku termasuk luar biasa menurut penilaianku. Luar biasa dalam arti tidak seperti lazimnya anak-anak kecil lain yang malu-malu apabila berkunjung ke tempat yang baru. Bersembunyi di belakang orangtuanya apabila bertemu atau kenalan dengan orang baru. Hal seperti itu tak pernah terjadi pada kedua anakku. Mereka terlalu berani dan tak pernah memiliki rasa takut pada siapapun.
Anakku adalah kurawa-kurawa kecil yang membutuhkan kesabaran yang tanpa batas ketika harus menghadapinya. Istilah kurawa dipakai oleh ayahnya karena tingkah mereka yang cenderung membuat masalah atau berantakan. Aktivitas fisik yang tak pernah mengenal lelah. Selalu bergerak , ingin menyentuh segala sesuatu yang aneh baru atau yang menurut mereka perlu untuk dikorek dan diacak-acak. Tak ada satu bendapun di rumahku yang lepas dari tangan usil mereka berdua. Sofa yang belum terlalu lama kubeli sudah terlihat seperti bertahun-tahun karena sobek di sana sini karena ditusuk pake obeng maupun garpu. Kusen pintu dan jendela mereka pukul-pukul memakai batu atau pisau yang kebetulan mereka dapatkan karena kelengahanku atau kelengahan pembantuku dalam mengawasi mereka, Kaca lemari TV lepas dari engselnya, Kaca pelapis meja tamu pecah kerana mereka angkat berdua dan jatuh berserakan di lantai.
Semua aku hadapi setiap hari, kadang lelah dan menitikkan airmata karena kenakalan kecil yang dilakukan mereka berdua. Kadang tertawa geli mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka yang menggelitik. Rasa syukur pada Tuhan akan kepercayaan yang begitu besar telah mempercayakan padaku untuk memelihara dua makhluk kecil yang lincahnya luar biasa. Rasa lelah yang penuh aduan kadang meluncur dalam genangan airmata doa memohon kesabaran dalam menghadapi semua kenakalan yang ada pada anakku.
Walaupun TK mu mendepakmu, anak-anakku, tapi yakinlah kalian masih punya mama. Yang tak akan pernah meninggalkan kalian dalam kondisi apapun. Kalian yang membuat mata mama bersinar dan becahaya walau kadang dalam genangan air mata.
RAHASIA ILLAHI

Tuhan maha Bijak yang menyimpan segala macam rahasia. Tuhan maha sempurna sehingga secanggih apapun teknologi yang ada dan dikuasai oleh manusia tak akan mampu menilai, memprediksi, menganalisis tanpa izin dariNya. Rahasia Illahi benar-benar aku alami ketika aku pertama kali dikaruniai titipannya. Sembilan bulan aku mengandung bayi di rahimku, membawanya dalam setiap gerak, langkah bahkan setiap tarikan nafasku. Mengeceknya ke dokter dengan USG ketika usia kandungan 2,5 bulan dan secara rutin aku memeriksakannya ke bidan untuk memantau perkembangan janin yang ada di perutku.
Allah merahasiakan bahwa aku akan melahirkan anak kembar hingga detik terakhir dokter bedah itu melakukan sectio atas persalinanku yang tidak bisa dilakukan dengan normal. Allah memberikan kejutan yang tak pernah sekalipun terbayang di benakku sebelumnya. Allah telah membuktikan begitu kuasaNya, Begitu Maha TahuNya takkan akan pernah tersaingi oleh makhluk apapun di dunia ini.
Masih dalam pengaruh obat bius, aku mendengar suara bisikan dokter mengatakan bahwa bayiku kembar lelaki dan normal.
Aku menangis, ketika mengetahui bahwa suamiku menangis ketika melihat kedua bocah kembarku dalam balutan selimut putih. Ketakjuban itu membuatnya marah sekaligus bahagia karena menerima dua anak lelaki kembar yang normal, mungil, putih dan berat badan normal selayaknya bayi normal. Dalam cerita selanjutkan suamiku mengatakan padaku bahwa dia marah karena aku keukeuh tak mau diajak USG di bulan terakhir kehamilanku. Memang dia megajakku berulang kali untuk melakukan USG ketika kami pulang ke rumah orangtuaku untuk persalinanku. Tapi aku tidak mau, karena aku pikir, buat apa USG, sementara persalinan tinggal menunggu hari.
Bulan ke sembilan kehamilanku merupakan bulan terberat yang aku alami. Berat badanku sudah bertambah 20 kg dari berat normalku sebelumnya. Aku sudah tak bisa lagi ruku dan sujud karena ukuran perutku yang besar. Aku melakukan sujudku, perwujudan imanku denagn duduk di kursi plastic yang ada sandarannya. Bahkan dalam tidurpun aku tak sanggup bergerak. Hanya terlentang dan tak bisa bangun tanpa pertolongan suamiku. Aku tak bisa mengubah posisi miring tanpa bantuan suamiku untuk menggulingkan aku ke kiri atau ke kanan. Tapi aku menjalaninya dengan ikhlas tanpa penuh tanya apakah kehamilan orang lain juga seberat kehamilanku.
Akhirnya aku menemui kerinduanku yang terbayang setiap malam-malam yang panas. Di Jumat pagi dini hari, aku melihat ada flek merah kental keluar dari rahimku. Rasa lega seakan mau menerima hadiah mahal menghalangi aku merasakan sakit yang mulai timbul dan tenggelam. Pagi-pagi aku minta suamiku untuk mengantarkan aku ke bidan untuk melahirkan. Setelah melihat pembukaan sudah berapa senti, ternyata bidan masih membolehkan kami pulang karena baru pembukaan satu katanya. Dan kami dipersilahkan kembali ke klinik bersalin jam 1 siang.
Dalam rasa sakit yang mendera di rahimku karena kontraksi semakin sering terjadi, suamiku dengan setia memegangi tanganku, mengipasiku, mengelus dan mencoba bersimpati karena tak bisa berbuat apa apa untuk mengurangi rasa sakitku. Ya rabb, begini sakit yang dirasakan oleh seorang ibu ketika menanti kelahiran anakknya. Aku tak banyak mengeluarkan suara ketika menahan sakit, aku hanya sesekali berdesis di sela istighfar yang selalu diingatkan oleh ibuku untukku aku ucapkan.
Ibu, betapa engkau diciptakan sebagai makhluk mulia yang bertugas untuk meneruskan keturanan insan. Berjuang antara hidup dan mati, rasa sakit itu terus ada pada hingga jam satu malam. Keluargaku mulai khawatir, karena waktu sudah cukup lama untuk proses persalinan normal. Detik-detik berlalu sangat lamban. Penantian tiada akhir disertaii rasa sakit yang berkepanjangan. Ternyata begini rasanya dulu ibuku melahirkan aku. Sebuah pengorbanan yang tak bakal selesai dibayar oleh apapun yang bernilai di dunia ini
Pengorbanan seorang ibu adalah seteguk air di gurun sahara, setetes embun di padang nan gersang, sebuah kehidupan yang dimulai dengan peristiwa yang dekat dengan kebalikannya, yaitu kematian. Seorang ibu yang akan melahirkan seperti orang yang akan memberikan kematiannya demi kehidupan anaknya. Ibu, maafkan aku jika aku belum menyadari betapa cintamu padaku sampai detik aku merasakan kontraksi rahim yang lama dan berkesudahan. Maafkan aku jika selama ini aku ragu dalam ketidaktahuan dan rendahnya kontemplasi diri akan makna sakitnya perjuangan ibu dalam melahirkan aku.
Perlahan airmataku mengalir. Telah sebandingkah baktiku pada ibu dengan semua pengorbanannya? Telah impaskah hutang kehidupan yang diberikan oleh ibuku?. Rasanya tak akan pernah. Seperti gelandangan yang harus membayar hutang Negara yang bahkan dia sendiri belum pernah bias membayangkan angkanya karena terlalu besar dan jauh dari jangkauan logikanya. Seperti hutang seorang miskin pada rentenir yang bukannya semakin mendekati lunas tetapi malah semakin membumbung tinggi karena bunganya yang setiap hari menjadi semakin berlipat ganda. Oh ibu, Ingin rasanya bersujud di kakimu, membasuhnya dengan airmataku, sebagai permohonan maaf atas ketololanku sepanjang usiaku. Ibu,…. Rasanya Aku … Aku membuka mataku ingin melihat ibu yang berdiri di samping tempat tidurku. Dalam genangan airmata aku menatap kabur wajah ibu yang terlalu mengkhawatirkan aku, Aku hanya menraih tangannya lemah dalam sakitku… Ibu.. hanya itu yang berhasil terucap lirih dari mulutku……Padahal ribuan kata siap mengalir dari mulutku. Aku ingin menjelaskan betapa aku merasa telah berbuat salah yang terlalu banyak yang tak semestinya selama ini. Betapa menyesalnya aku telah membuatmu cemas dan khawatir… tapi semua tercekat di tenggorokan, tenggelam dalam desisan rasa sakit yang seolah tak tertanggungkan. Mungkin, karena kebodohanku, aku harus merasakan sakitnya kontraksi persalinan dulu untuk menyadari makna seorang ibu untukku. Alangkah naifnya aku.
Sudah 7 jam aku mengalami kontraksi, tapi tanda tanda pembukaan tak juga mengalami kemajuan. Bidan memeriksa berkali-kali dan jawabannya sama, tetap pembukaan 4. Tak lebih dan tak bertambah. Malam semakin kelam dan beranjak menuju pagi. Aku masih tergolek lemah di kamar bersalin dengan suami yang tak pernah melepaskan genggaman tanganku. Ia seperti ingin mengalirkan tenaga dan semangatnya untukku. Ia tak banyak bicara, tak ada selera humornya yang selama ini ada. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Yang aku tahu adalah dia berada dekat di bibir ranjang, berdiri, mengenggam tangganku, mengelus perutku, mengipasiku supaya tidak kegerahan dan gerakan-gerakan kecil yang ragu karena kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan
Tepat jam 2 pagi, aku merasa air ketubanku sudah pecah. Menurut mereka yang pernah melahirkan, pecahnya air ketuban adalah tanda bahwa bayi akan segera mengajak ibunya untuk bersama sama berjuang melanjutkan kehidupan.
Tetapi yang terjadi padaku adalah kebalikannya. Justru setelah pecah ketuban, aku tak lagi merasakan sakit. Kontraksi tak ada lagi. Malah aku, suami, dan bidan yang akan membantu persalinanku membicarakan kemungkinan medis yang harus ditempuh apabila sampai waktu yang bisa ditoleransi bayi untuk bisa di dalam rahim setelah air ketuban pecah. Bidan tersebut mengatakan bahwa sampai jam enam pagi, apabila masih juga tak terjadi kontraksi, maka aku harus dibawa ke rumah sakit. Akhirnya kami bertanya kepada bidan tersebut rumah sakit mana yang cukup bagus untuk melakukan operasi Caesar di kota Solo.
Selama berjam-jam bidan tersebut mengecek perkembangan proses persalinanku, Tuhan tak juga memberitahukan bidan senior yang dulu turut membantu persalinan ibuku dalam melahirkan aku itu bahwa aku mengandung bayi kembar. Alat deteksi detak jantung bayi juga tak sanggup memberikan cukup petunjuk untuk bidan itu bahwa ada dua janin yang sedang berpelukan dalam rahimku.
Kami hanya mempersiapkan satu nama untuk bayi kami. Karena rasa excited dan sensasi masa hamil dulu dalam mencari nama bayi, sekarng sudah tidak ada lagi, semua bertukar dengan rasa bahagia, rasa syukur, rasa tak percaya, bahwa sudah ada dua mungil bayi yang akan meneruskan keturunan kami. Kebingungan membuat aku dan suami membuat kami mengambil jalan yang cepat. Mengubah satu vocal kedua dari nama yang sudah kami tentukan sebagai pembeda. That,s it. Rayhan Numa Shaquille Then dan Rayhan Numa Shaquille Then.
Telah lahir ke dunia, si kembar identik Ray dan Rey. Wajahnya mereka sama persis tak ada beda, Tuhan memberikan tanda tahi lalat di leher untuk Rey. Selebihnya tak ada yang bisa menebak mana Rey dan mana Ray, kalau tak melihat dulu tahi lalat yang menjadi pembeda keduanya. Subhanallah………………………