The beggining
Mungkin hanya aku yang merasa tak ada beban ketika membaca Surat Keputusan CPNS di Bumi Makmur Indah di Lembang Bandung kali ini. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak tahu dimana posisi Kecamatan Parungpanjang. Aku ditempatkan di sebuah sekolah Menengah Pertama di sebuah Kecamatan yang aku tidak tahun posisinya dimana. Tak ada rasa sedih, tak juga rasa riang gembira seperti yang diungkapkan oleh sebagian guru yang baru mendapat SK di perkotaan. Tak juga sedih bahkan menangis seperti pemandangan yang ada di sudut aula ini. Ternyata mereke ditempatkan di sebuah kampung yang jauh di pelosok desa, yang jauh darimana-mana. Dan aku, tak tahu aku harus merasa bagaimana karena aku tidak tahu dimana letak sekolah yang menjadi temapt mengajarku kelak. Yang jelas. Rasa syukur tak pernah lepas aku ucapkan dalam hati. Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah memberi sesuatu yang menjadi keinginan jutaan orang di bumi ini. Walaupun terkenal dengan gajinya yang kecil, PNS masih merupakan dambaan dari sekian banyak pendidik di Indonesia tercinta ini.
Ternyata setelah kami kembali ke dinas kabupaten masing-masing, baru aku tahu bahwa Parungpanjang juga termasuk daerah yang jauh dari jangkauan kota kabupaten. Tapi tetap tak mengapa karena bagiku mengajar dimanapun sama saja. Walaupun menjadi guru adalah bukan cita-citaku, tapi terbukti aku bisa mencintai pekerjaan ini. Dan sekarang berarti telah tiba saatnya aku harus mengabdi dan menunjukkan dedikasiku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk calon murid-muridku. Parungpanjang, here I come.....
Dari Depok, aku harus menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 100 kilometer. Naik angkot dulu menuju Parung, kemudian berganti Bus Jurusan Tangerang dan turun di stasiun Serpong, kemudian naik kereta jurusan Rangkas Bitung dan baru kemudian turun di Stasiun Parungpanjang. Tadinya aku merasa perjalananku sudah selesai, ternyata SMP 2 parungpanjang bukan berada di kota kecamatan, tapi nun jauh di dalam perkampungan yang kurang lebih 10 km dari kota kecamatan.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam barulah aku sampai di sebuah sekolah yang berada di tengah-tengah padang gersang. Tak ada pepohonan yang besar dan rindang, hanya ada rumpun-rumpun perdu yang tumbuh segan mati tak mau. Aku menatap dengan penuh takzim. Akan berapa lama aku berada di sekolah ini? Akan seperti apa aku menggoreskan sejarah di Unit Gedung baru ini.
Hingga sekarang, dua tahun aku disini. Semua masih sama seperti dulu ketika aku datang. Hanya perubahan-perubahan kecil yang terjadi. Begitu juga siswa siswa di sini. Makin hari makin aku merasa menemui kesulitan dalam mengajar di kelas. Walaupun aku menganngapnya sebagi tantangan, tapi aku merasa seolah-olah tak berhasil memuat perubahan. Latar belakang orang tua yang berpendidikan rendah membuat semakin terpuruk aku merasa manahan beban. Aku selalu berusaha menjadi terbaik di segala sesuatu yang aku kerjakan. Berbagai cara sudah aku lakukan untuk menarik siswa supaya mempunyai minat belajar yang tinggi. Berbagai inovasi sengaja aku cari-cari supaya aku bisa menjadi seorang guru yang mencerahkan.
Anehnya, aku tak melihat semangat yang sama dengan rekan-rekan kerjaku. Semuanya seolah tidak mau peduli dengan kedaan siswa. Seolah mengajar hanya berguna untuk menggugurkan kewajiban saja. Mereka tak perduli hasil yang dicapai siswa. Bahkan sampai dimana daya serap siswa pun seolah tang mereka pedulikan. Yang muncul hanya keluhan-keluhan tanpa solusi. Bahwa murid-murid sulit diatur, di kelas maunya tidur, entering behaviornya minus, fasilitas sekolah kurang dan sebagainya. Semua permasalahan muncul dan hanya menjadi keluhan formalitas yang akan segera terlupa waktu. Rata-rata dari mereka sudah pasrah menerima keadaan. Mungkin sudah terlalu lelah menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah. Banyak di antara mereka yang harus menempuh tiga jam perjalanan yang melelahkan. Belum lagi harus berjubel naik kereta jurusan Rangkasbitung yang kondisinya sudah tidak layak lagi untuk angkutan umum sebenarnya. Tapi sekali lagi itulah Indonesia.
Tak ada yang berusaha mencari solusi. Batu loncatan, itu istilah mereka. Mereka hanya menunggu waktu untuk bisa dipindahkan ke sekoleh yang dekat dengan rumah mereka. Aku tidak menyalahkan mereka. Mereka diangkat menjadi Pegawai Negeri dalam keadaan sudah berumahtangga, punya suami dan temapt tinggal tetap. Jadi, mau tak mau harus mereka jalani pekerjaan mendidik ini walau hanya menggunakan sisw-sisa tenaga mereka yang sudah terkuras habis di perjalanan. Jadi, yang penting hadir di kelas, mengajar dan kalau sudah habis waktunya keluar kelas, tanpa beban yang menghimpit di kepala. Sejauh mana teknik pengajarannya yang digunakanya berhasil dicapai. Bagaimana agar siswa tertarik dengan pembelajaran di kelas, bagaimana menorganisasi semua perlatan seadanya menjadi satu orkestra indah yang bergaung di seluruh kelas. Hanya mimpi di siang bolong.
Kadang-kadang aku terhanyut dengan pasrahya mereka menghadapi keadaan. Tapi aku selalu berusaha untuk bangkit, paling tidak membangkitkan semangatku untuk menjadi agen pembelajaran yang berhasil. Aku sibuk membaca dan mencari-cari di internet tentang tip dan trik pembelajaran seperti apa yang bisa diterapkan di kondisi dan suasana seperti di sekolah yang aku ajar ini. Aku selalu memikirkan dengan cermat skenario pembelajaran yang akan aku laksanakan di kelas. Aku slalu menggabung metode pembelajaran yang selama ini aku banyak baca dari buku. Untuk permasalahan materi ajar, aku tak pernah merasa kesulitan, karena aku rajin ke warnet yang hanya satu-satunya di kota kecamatan. Itupun mempunyai kemampuan loading yang memprihatinkan. Tapii cukuplah, daripada tidak sama sekali.
Kadang-kadang aku menemukan kepuasan yang tak terkira ketika menyelesaikan sebuah kelas. Aku merasa mata-mata mereka penuh ceria mengikuti instruksi proses pembelajaran yang aku lakukan. Senyuman, acungan jari, tepuk tangan dan tanggapan antusias membuat aku seolah-olah aku mau meninggalkan kelas. Kalau sudah seperti itu ingin rasanya aku teriak sekeras-kerasnya. Aku berhasil melakukan proses KBM yang memuaskan. Kemudian akan dengan sangat ceria aku menceritakannya di sebuah buku harian.
Namun tak jarang aku merasa kecewa bukan kepalang atas hasil pengajaran yang aku temukan. Seolah-olah rencana yang telah aku buat dengan matang gagal total entah kerana apa aku tak menemukan jawabannya. Kondisi siswa yang berbeda dan suasana yang kurang mendukung, atau bagaimana kadang aku menemukan jawaban dari kegagalanku, tapi kadang juga tak kutemukan sama sekali apa penyebab dari kegagalanku.
Kesabaran. Salah satu kata yang aku pegang teguh dari pertama dulu aku mulai mengajar. Pertama kali aku mulai benar-benar mengajar aku cenderung galak dan penuh permusuhan ke siswa. Apabila ada siswa yang bertingkah sedikit saja, itu sanggup membuat aku mengomel di kelas untuk waktu yang lama. Aku merasa posisiku waktu itu adalah sebagai penguasa kelas. Jadi siswa harus mematuhi perintahku. Aku menganggap mereka meremehkan dan menghina aku apabila mereka bercanda di kelas. Jadi Pengelolaan kelasku waktu itu mungkin hanya dipenuhi oleh ketenangan palsu yang aku buat karena rasa gentar siswa terhadap ketegasan dan kegalakannku.
Namun waktu yang mengatasi segalanya. Rasa arif dan sabar mulai muncul sedikit demi sedikit. Siswa tak lagi aku anggap sebagai anak-anak yang harus aku tundukkan. Tetapi mereka hanya makhluk-makhluk remaja yang sedang menempuh proses pendewasaan. Kadang aku memposisikan diriku sebagai kakak, Ibu, Ayah, dan tak jarang aku memnempatkan posisiku selevel dengan mereka. Sehingga aku benar-benar tahu apa yang mereka inginkan. Aku berusaha menonton apa yang mereka tonton, aku berusaha mengikuti perkembangan bahasa gaul yang mereka suka. Aku memanggil mereka dengan nama nama kesukaan mereka, bahkan kadang aku lupa siapa nama nama sebenarnya dari mereka. Rata rata dari siswa siswaku memakai nama gaul, ada yang black, begeng, alay, ciprot dan sebagainya. Aku berusaha masuk ke dalam dunia mereka
No comments:
Post a Comment