Saturday, February 28, 2009

RAHASIA ILLAHI

Tuhan maha Bijak yang menyimpan segala macam rahasia. Tuhan maha sempurna sehingga secanggih apapun teknologi yang ada dan dikuasai oleh manusia tak akan mampu menilai, memprediksi, menganalisis tanpa izin dariNya. Rahasia Illahi benar-benar aku alami ketika aku pertama kali dikaruniai titipannya. Sembilan bulan aku mengandung bayi di rahimku, membawanya dalam setiap gerak, langkah bahkan setiap tarikan nafasku. Mengeceknya ke dokter dengan USG ketika usia kandungan 2,5 bulan dan secara rutin aku memeriksakannya ke bidan untuk memantau perkembangan janin yang ada di perutku.
Allah merahasiakan bahwa aku akan melahirkan anak kembar hingga detik terakhir dokter bedah itu melakukan sectio atas persalinanku yang tidak bisa dilakukan dengan normal. Allah memberikan kejutan yang tak pernah sekalipun terbayang di benakku sebelumnya. Allah telah membuktikan begitu kuasaNya, Begitu Maha TahuNya takkan akan pernah tersaingi oleh makhluk apapun di dunia ini.
Masih dalam pengaruh obat bius, aku mendengar suara bisikan dokter mengatakan bahwa bayiku kembar lelaki dan normal.
Aku menangis, ketika mengetahui bahwa suamiku menangis ketika melihat kedua bocah kembarku dalam balutan selimut putih. Ketakjuban itu membuatnya marah sekaligus bahagia karena menerima dua anak lelaki kembar yang normal, mungil, putih dan berat badan normal selayaknya bayi normal. Dalam cerita selanjutkan suamiku mengatakan padaku bahwa dia marah karena aku keukeuh tak mau diajak USG di bulan terakhir kehamilanku. Memang dia megajakku berulang kali untuk melakukan USG ketika kami pulang ke rumah orangtuaku untuk persalinanku. Tapi aku tidak mau, karena aku pikir, buat apa USG, sementara persalinan tinggal menunggu hari.
Bulan ke sembilan kehamilanku merupakan bulan terberat yang aku alami. Berat badanku sudah bertambah 20 kg dari berat normalku sebelumnya. Aku sudah tak bisa lagi ruku dan sujud karena ukuran perutku yang besar. Aku melakukan sujudku, perwujudan imanku denagn duduk di kursi plastic yang ada sandarannya. Bahkan dalam tidurpun aku tak sanggup bergerak. Hanya terlentang dan tak bisa bangun tanpa pertolongan suamiku. Aku tak bisa mengubah posisi miring tanpa bantuan suamiku untuk menggulingkan aku ke kiri atau ke kanan. Tapi aku menjalaninya dengan ikhlas tanpa penuh tanya apakah kehamilan orang lain juga seberat kehamilanku.
Akhirnya aku menemui kerinduanku yang terbayang setiap malam-malam yang panas. Di Jumat pagi dini hari, aku melihat ada flek merah kental keluar dari rahimku. Rasa lega seakan mau menerima hadiah mahal menghalangi aku merasakan sakit yang mulai timbul dan tenggelam. Pagi-pagi aku minta suamiku untuk mengantarkan aku ke bidan untuk melahirkan. Setelah melihat pembukaan sudah berapa senti, ternyata bidan masih membolehkan kami pulang karena baru pembukaan satu katanya. Dan kami dipersilahkan kembali ke klinik bersalin jam 1 siang.
Dalam rasa sakit yang mendera di rahimku karena kontraksi semakin sering terjadi, suamiku dengan setia memegangi tanganku, mengipasiku, mengelus dan mencoba bersimpati karena tak bisa berbuat apa apa untuk mengurangi rasa sakitku. Ya rabb, begini sakit yang dirasakan oleh seorang ibu ketika menanti kelahiran anakknya. Aku tak banyak mengeluarkan suara ketika menahan sakit, aku hanya sesekali berdesis di sela istighfar yang selalu diingatkan oleh ibuku untukku aku ucapkan.
Ibu, betapa engkau diciptakan sebagai makhluk mulia yang bertugas untuk meneruskan keturanan insan. Berjuang antara hidup dan mati, rasa sakit itu terus ada pada hingga jam satu malam. Keluargaku mulai khawatir, karena waktu sudah cukup lama untuk proses persalinan normal. Detik-detik berlalu sangat lamban. Penantian tiada akhir disertaii rasa sakit yang berkepanjangan. Ternyata begini rasanya dulu ibuku melahirkan aku. Sebuah pengorbanan yang tak bakal selesai dibayar oleh apapun yang bernilai di dunia ini
Pengorbanan seorang ibu adalah seteguk air di gurun sahara, setetes embun di padang nan gersang, sebuah kehidupan yang dimulai dengan peristiwa yang dekat dengan kebalikannya, yaitu kematian. Seorang ibu yang akan melahirkan seperti orang yang akan memberikan kematiannya demi kehidupan anaknya. Ibu, maafkan aku jika aku belum menyadari betapa cintamu padaku sampai detik aku merasakan kontraksi rahim yang lama dan berkesudahan. Maafkan aku jika selama ini aku ragu dalam ketidaktahuan dan rendahnya kontemplasi diri akan makna sakitnya perjuangan ibu dalam melahirkan aku.
Perlahan airmataku mengalir. Telah sebandingkah baktiku pada ibu dengan semua pengorbanannya? Telah impaskah hutang kehidupan yang diberikan oleh ibuku?. Rasanya tak akan pernah. Seperti gelandangan yang harus membayar hutang Negara yang bahkan dia sendiri belum pernah bias membayangkan angkanya karena terlalu besar dan jauh dari jangkauan logikanya. Seperti hutang seorang miskin pada rentenir yang bukannya semakin mendekati lunas tetapi malah semakin membumbung tinggi karena bunganya yang setiap hari menjadi semakin berlipat ganda. Oh ibu, Ingin rasanya bersujud di kakimu, membasuhnya dengan airmataku, sebagai permohonan maaf atas ketololanku sepanjang usiaku. Ibu,…. Rasanya Aku … Aku membuka mataku ingin melihat ibu yang berdiri di samping tempat tidurku. Dalam genangan airmata aku menatap kabur wajah ibu yang terlalu mengkhawatirkan aku, Aku hanya menraih tangannya lemah dalam sakitku… Ibu.. hanya itu yang berhasil terucap lirih dari mulutku……Padahal ribuan kata siap mengalir dari mulutku. Aku ingin menjelaskan betapa aku merasa telah berbuat salah yang terlalu banyak yang tak semestinya selama ini. Betapa menyesalnya aku telah membuatmu cemas dan khawatir… tapi semua tercekat di tenggorokan, tenggelam dalam desisan rasa sakit yang seolah tak tertanggungkan. Mungkin, karena kebodohanku, aku harus merasakan sakitnya kontraksi persalinan dulu untuk menyadari makna seorang ibu untukku. Alangkah naifnya aku.
Sudah 7 jam aku mengalami kontraksi, tapi tanda tanda pembukaan tak juga mengalami kemajuan. Bidan memeriksa berkali-kali dan jawabannya sama, tetap pembukaan 4. Tak lebih dan tak bertambah. Malam semakin kelam dan beranjak menuju pagi. Aku masih tergolek lemah di kamar bersalin dengan suami yang tak pernah melepaskan genggaman tanganku. Ia seperti ingin mengalirkan tenaga dan semangatnya untukku. Ia tak banyak bicara, tak ada selera humornya yang selama ini ada. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Yang aku tahu adalah dia berada dekat di bibir ranjang, berdiri, mengenggam tangganku, mengelus perutku, mengipasiku supaya tidak kegerahan dan gerakan-gerakan kecil yang ragu karena kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan
Tepat jam 2 pagi, aku merasa air ketubanku sudah pecah. Menurut mereka yang pernah melahirkan, pecahnya air ketuban adalah tanda bahwa bayi akan segera mengajak ibunya untuk bersama sama berjuang melanjutkan kehidupan.
Tetapi yang terjadi padaku adalah kebalikannya. Justru setelah pecah ketuban, aku tak lagi merasakan sakit. Kontraksi tak ada lagi. Malah aku, suami, dan bidan yang akan membantu persalinanku membicarakan kemungkinan medis yang harus ditempuh apabila sampai waktu yang bisa ditoleransi bayi untuk bisa di dalam rahim setelah air ketuban pecah. Bidan tersebut mengatakan bahwa sampai jam enam pagi, apabila masih juga tak terjadi kontraksi, maka aku harus dibawa ke rumah sakit. Akhirnya kami bertanya kepada bidan tersebut rumah sakit mana yang cukup bagus untuk melakukan operasi Caesar di kota Solo.
Selama berjam-jam bidan tersebut mengecek perkembangan proses persalinanku, Tuhan tak juga memberitahukan bidan senior yang dulu turut membantu persalinan ibuku dalam melahirkan aku itu bahwa aku mengandung bayi kembar. Alat deteksi detak jantung bayi juga tak sanggup memberikan cukup petunjuk untuk bidan itu bahwa ada dua janin yang sedang berpelukan dalam rahimku.
Kami hanya mempersiapkan satu nama untuk bayi kami. Karena rasa excited dan sensasi masa hamil dulu dalam mencari nama bayi, sekarng sudah tidak ada lagi, semua bertukar dengan rasa bahagia, rasa syukur, rasa tak percaya, bahwa sudah ada dua mungil bayi yang akan meneruskan keturunan kami. Kebingungan membuat aku dan suami membuat kami mengambil jalan yang cepat. Mengubah satu vocal kedua dari nama yang sudah kami tentukan sebagai pembeda. That,s it. Rayhan Numa Shaquille Then dan Rayhan Numa Shaquille Then.
Telah lahir ke dunia, si kembar identik Ray dan Rey. Wajahnya mereka sama persis tak ada beda, Tuhan memberikan tanda tahi lalat di leher untuk Rey. Selebihnya tak ada yang bisa menebak mana Rey dan mana Ray, kalau tak melihat dulu tahi lalat yang menjadi pembeda keduanya. Subhanallah………………………

No comments: