GERAKAN LITERASI SEKOLAH MELALUI PROGRAM WJLRC
Oleh: Endang Setiyaningsih, S.Pd,M.M
Buku mengisi jam-jam kita yang
kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat
kita tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan
jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah:
"BACALAH".
—Gunawan Mohamad
Sebuah quote yang sangat menarik dari budayawan
kita Gunawan Mohamad tersebut menyampaikan pentingnya membaca untuk melihat
kebenaran. Bahwa perintah untuk membaca juga dengan jelas termaktub dalam kitab
umat muslim, Al Quran. Ketika sebuah pesan tersurat dengan jelas dalam Al Quran
maka apalagi yang harus dipertanyakan?
Sebagai insan yang berilmu kita yang dikaruniai
akal tentu saja harus menangkap makna dan ajaran Al Quran tersebut dan menerapkannya
dalam kehidupan. Membaca bisa menambah pengetahuan tentang segala hal yang
dibutuhkan manusia untuk mempelajari segala sesuatu yang dibutuhkan dalam
menjalani hidup. Membaca berarti mampu meneruskan peradapan dari generasi ke
generasi. Apakah bisa dibayangkan apabila manusia berhenti membaca?
Sebagai bentuk kepedulian terhadap pentingnya
membaca, pemerintah mengeluarkan Permendikbud no 23 tahun 2015 tentang
penanaman budi pekerti melalui kegiatan membaca. Selanjutnya muncullah gerakan
literasi sekolah yang mewajibkan siswa-siswi untuk membaca buku non pelajaran
sebanyak mungkin.
GLS diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah,
pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan,
dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam kehidupan. Upaya yang
ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik.
Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca. Ketika pembiasaan
membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan
pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013).
Pemerintah provinsi menindaklanjuti gerakan lierasi
sekolah yang termaktub dalam permendikbud 23 tahun 2015 tersebut dengan sebuah
program yang disebut dengan WJLRC (West Java Leaders Reading Challange).
Program tersebut merupakan program yang diadopsi dari Australia Selatan,
Adelaide. WJLRC dibidani oleh para guru Jabar yang pernah mengikuti pelatihan
di Adelaide). Program tantangan membaca yang dilaksanakan oleh pemerintah
Australia adalah Premiers Reading Challange yang artinya tantangan membaca dari
pimpinan negara. Alumni WJATP mengadopsinya menjadi WJLRC, yang berarti
tantangan membaca dari para pimpinan Jawa Barat (dalam hal ini Gubernur).
Gubernur menantang para pelajar di Jabar untuk membaca sejumlah buku selama 10 bulan. Bagi yang berhasil akan
mendapat medali dan sertifikat penghargaan dari gubernur Jabar.
Pemerintah pusat mengamanatkan gerakan literasi
sekolah, pemerintah provinsi Jabar mewujudkannya dalam sebuah program. Kata gerakan
memiliki arti yang luas tetapi apabila tidak ditindaklanjuti dengan program
yang spesifik, dikhawatirkan akan menjadi semangat dan euforia saja tanpa
realisasi yang berarti. Maka dari itu untuk mempertajam pelaksanaan GLS
dijabar, diluncurkanlah program WLJRC ini untuk 2600 sekolah.
Mengapa istilahnya WJLRC? Apakah tidak ada istilah
yang lebih Indonesia? Jawabannya adalah karena WJLRC adalah sebuah nama program
yang tidak bisa diubah karena ada dalam MOU antara Indonesia dan Australia.
Program yang sudah diluncurkan selama dua tahun di Jabar ini akhirnya
diputuskan diterapkan secara masal di Jawa Barat, yaitu
Program ini diluncurkan pada bulan Mei dengan
diawali pelatihan TOT untuk 30 orang yang akan menjadi narasumber dalam
kegiatan ini. Selanjutnya diadakan workshop literasi yang diikuti oleh 300
orang yang menyandang predikat penggerak literasi dan dilanjutkan dengan 26000
guru dan kepala sekolah yang mengikuti workshop literasi yang sama dan mendapat
predikat perintis literasi. Di tangan para guru perintis inilah program WJLRC
akan dieksekusi di tingkat sekolah. Seorang guru perintis akan membimbing 2
kelompok atau lebih yang terdiri dari 5 siswa. Satu sekolah maksimal ada 40
orang yang menjadi peserta WJLRC. Para peserta program tersebut ditantang untuk
membaca buku sejumlah 24 buku selama sepuluh bulan. Dalam satu bulan mereka
harus menyelesaikan membaca dua buah buku dan mempresentasikannya di depan
peserta lain dengan membuat review menggunakan teknik Ishikawa fishbone, Y
Chart atau AIH. Selain itu guru yang menjadi perintis juga mempunyai tantangan
untuk membaca 12 buku dalam sepuluh bulan dan memiliki kewajiban yang sama
dengan para siswa yaitu mempresentasikannya.
Membaca adalah mempelajari peradapan. Di dalamnya
ada penyerapan nilai nilai dan norma peradapan sosial yang diharapkan bisa
dipahami, diterapkan dan diteruskan sebagai budaya yang dimiliki oleh siswa
siswi Indonesia. Etika komunikasi juga akan dipelajari terutama dalam forum
diskusi dan presentasi buku. Ujaran maaf, terimakasih dan pujian sangat
diutamakan sehingga menjadi kebiasaan positif siswa dan akan menjadi menjadi
budaya.
Bagi beberapa pihak yang belum memahami secara
teknis program WJLRC ini mungkin akan menganggap bahwa program tersebut sangat
sulit dan akan membebani siswa. Bahkan ada yang berpendapat bahwa GLS menjadi
begitu menyeramkan dengan WJLRC. Padahal sebenarnya tidak sebegitu menakutkan.
Program ini adalah tantangan. Yang merasa memiliki nyali, dialah yang akan
tertantang. Tertantang untuk menyelesaikan pembacaan buku diikuti dengan
presentasi isi bukunya. Proses pemberian tantangan tersebut dilakukan selama 10
bulan, sehingga membaca buku yang sebelumnya seolah "dipaksa" tapi
akhirnya menjadi kebiasaan. Siapa yang mempertanyakan sisi positif dari membaca
buku? Pasti yang muncul hanya gelengan kepala, karena membaca akan meningkatkan
pengetahuan yang akan menjadi modal untuk menghadapi kemajuan zaman dan
kehidupan pada umumnya.
Presentasi dan diskusi yang dimaksudkan dalam
program WJLRC juga bukan presentasi yang rumit dan sulit, presentasi yang
dimaksudkan adalah menyampaikan isi buku atau review dengan menggunakan Teknik
Ishikawa Fishbone, Y Chart, dan AIH (Alasan Isi Hikmah) dalam waktu hanya 4
menit saja. Teknik tersebut diatas sebenarnya kurang lebih bisa dimaknai dengan
prinsip 5 W 1 H (what, where, when, who, why, How) atau ADIKSIMBA (apa, dimana,
kapan, siapa, mengapa dan bagaimana).
Dalam waktu satu bulan, minggu pertama dan kedua
siswa membaca dua buku, dan guru perintis membaca satu buku. Minggu ketiga siswa
dan guru mempresentasikan hasil pembacaan buku dalam sebuah forum yang dihadiri
peserta, guru, orangtua peserta dan siswa-siswi yang tidak mengikuti tantangan
membaca. Masing masing siswa hanya diberi kesempatan untuk menyampaikan
presentasi isi buku selama 4 menit, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab 2
menit. Sebelumnya Guru perintis akan menyampaikan pendahuluan selama kurang
lebih 10 menit saja. Minggu ke 4 guru perintis harus mengupload hasil karya
siswa ke website resmi WJLRC Jabar.
Dalam permendikbud 23 tahun 2015 diamanatkan ada
pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum KBM. Materi bacaan bisa apa saja
selain buku teks pelajaran. Program WJLRC merealisasikannya menjadi kegiatan
Readathon, yang merupakan gabungan antara dua kata yaitu read (me8mbaca) dan
marathon (lari 42km). Readathon merupakan kegiatan membaca selama 42 menit
untuk menggantikan kegiatan 15 menit sebelum KBM jika terasa terlalu sulit
dilaksanakan. Readathon tidak
dilaksanakan tiap hari tetapi hanya mengambil kesempatan-kesempatan
tertentu saja. Setiap peserta harus membuat rekap hasil membacanya yaitu berapa
halaman yang berhasil dibaca selama 42 menit.
Tujuan utama dari gerakan literasi sekolah dan
program WJLRC adalah membiasakan membaca, menyukai buku dan mencari intisarinya.
Ketika kebiasaan membaca menjelma menjadi budaya baca, maka bangsa Indonesia
tidak akan menduduki peringkat yang menyedihkan dalam hal membaca dibanding
dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Ketika sebuah program diluncurkan, tentu saja
dukungan dari segala pihak amat dibutuhkan. Semua stake holder pendidikan
diharapkan bisa memberikan kontribusi aktif dan positif terhadap jalannya
program, pun kontrol dan monitoring juga diharapkan efektif sehingga tujuan
yang diharapkan bisa tercapai dengan maksimal.
Endang Setiyaningsih
6 Juni 2016
No comments:
Post a Comment