Friday, June 10, 2016

Artikel



GERAKAN LITERASI SEKOLAH MELALUI PROGRAM WJLRC
Oleh: Endang Setiyaningsih, S.Pd,M.M

Buku mengisi jam-jam kita yang kosong dengan percakapan yang mungkin tak akan pernah selesai, tapi membuat kita tahu: kita hanyalah penafsir tanda-tanda, di mana kebenaran menerakan jejaknya. Itu sebabnya kata pertama yang menakjubkan adalah: "BACALAH".

—Gunawan Mohamad

Sebuah quote yang sangat menarik dari budayawan kita Gunawan Mohamad tersebut menyampaikan pentingnya membaca untuk melihat kebenaran. Bahwa perintah untuk membaca juga dengan jelas termaktub dalam kitab umat muslim, Al Quran. Ketika sebuah pesan tersurat dengan jelas dalam Al Quran maka apalagi yang harus dipertanyakan?

Sebagai insan yang berilmu kita yang dikaruniai akal tentu saja harus menangkap makna dan ajaran Al Quran tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan. Membaca bisa menambah pengetahuan tentang segala hal yang dibutuhkan manusia untuk mempelajari segala sesuatu yang dibutuhkan dalam menjalani hidup. Membaca berarti mampu meneruskan peradapan dari generasi ke generasi. Apakah bisa dibayangkan apabila manusia berhenti membaca?

Sebagai bentuk kepedulian terhadap pentingnya membaca, pemerintah mengeluarkan Permendikbud no 23 tahun 2015 tentang penanaman budi pekerti melalui kegiatan membaca. Selanjutnya muncullah gerakan literasi sekolah yang mewajibkan siswa-siswi untuk membaca buku non pelajaran sebanyak mungkin.

GLS diharapkan mampu menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan, dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki, melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai bagian penting dalam kehidupan. Upaya yang ditempuh untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan 15 menit membaca. Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan, dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan Kurikulum 2013).

Pemerintah provinsi menindaklanjuti gerakan lierasi sekolah yang termaktub dalam permendikbud 23 tahun 2015 tersebut dengan sebuah program yang disebut dengan WJLRC (West Java Leaders Reading Challange). Program tersebut merupakan program yang diadopsi dari Australia Selatan, Adelaide. WJLRC dibidani oleh para guru Jabar yang pernah mengikuti pelatihan di Adelaide). Program tantangan membaca yang dilaksanakan oleh pemerintah Australia adalah Premiers Reading Challange yang artinya tantangan membaca dari pimpinan negara. Alumni WJATP mengadopsinya menjadi WJLRC, yang berarti tantangan membaca dari para pimpinan Jawa Barat (dalam hal ini Gubernur). Gubernur menantang para pelajar di Jabar untuk membaca sejumlah  buku selama 10 bulan. Bagi yang berhasil akan mendapat medali dan sertifikat penghargaan dari gubernur Jabar.

Pemerintah pusat mengamanatkan gerakan literasi sekolah, pemerintah provinsi Jabar mewujudkannya dalam sebuah program. Kata gerakan memiliki arti yang luas tetapi apabila tidak ditindaklanjuti dengan program yang spesifik, dikhawatirkan akan menjadi semangat dan euforia saja tanpa realisasi yang berarti. Maka dari itu untuk mempertajam pelaksanaan GLS dijabar, diluncurkanlah program WLJRC ini untuk 2600 sekolah.

Mengapa istilahnya WJLRC? Apakah tidak ada istilah yang lebih Indonesia? Jawabannya adalah karena WJLRC adalah sebuah nama program yang tidak bisa diubah karena ada dalam MOU antara Indonesia dan Australia. Program yang sudah diluncurkan selama dua tahun di Jabar ini akhirnya diputuskan diterapkan secara masal di Jawa Barat, yaitu

Program ini diluncurkan pada bulan Mei dengan diawali pelatihan TOT untuk 30 orang yang akan menjadi narasumber dalam kegiatan ini. Selanjutnya diadakan workshop literasi yang diikuti oleh 300 orang yang menyandang predikat penggerak literasi dan dilanjutkan dengan 26000 guru dan kepala sekolah yang mengikuti workshop literasi yang sama dan mendapat predikat perintis literasi. Di tangan para guru perintis inilah program WJLRC akan dieksekusi di tingkat sekolah. Seorang guru perintis akan membimbing 2 kelompok atau lebih yang terdiri dari 5 siswa. Satu sekolah maksimal ada 40 orang yang menjadi peserta WJLRC. Para peserta program tersebut ditantang untuk membaca buku sejumlah 24 buku selama sepuluh bulan. Dalam satu bulan mereka harus menyelesaikan membaca dua buah buku dan mempresentasikannya di depan peserta lain dengan membuat review menggunakan teknik Ishikawa fishbone, Y Chart atau AIH. Selain itu guru yang menjadi perintis juga mempunyai tantangan untuk membaca 12 buku dalam sepuluh bulan dan memiliki kewajiban yang sama dengan para siswa yaitu mempresentasikannya.

Membaca adalah mempelajari peradapan. Di dalamnya ada penyerapan nilai nilai dan norma peradapan sosial yang diharapkan bisa dipahami, diterapkan dan diteruskan sebagai budaya yang dimiliki oleh siswa siswi Indonesia. Etika komunikasi juga akan dipelajari terutama dalam forum diskusi dan presentasi buku. Ujaran maaf, terimakasih dan pujian sangat diutamakan sehingga menjadi kebiasaan positif siswa dan akan menjadi menjadi budaya.

Bagi beberapa pihak yang belum memahami secara teknis program WJLRC ini mungkin akan menganggap bahwa program tersebut sangat sulit dan akan membebani siswa. Bahkan ada yang berpendapat bahwa GLS menjadi begitu menyeramkan dengan WJLRC. Padahal sebenarnya tidak sebegitu menakutkan. Program ini adalah tantangan. Yang merasa memiliki nyali, dialah yang akan tertantang. Tertantang untuk menyelesaikan pembacaan buku diikuti dengan presentasi isi bukunya. Proses pemberian tantangan tersebut dilakukan selama 10 bulan, sehingga membaca buku yang sebelumnya seolah "dipaksa" tapi akhirnya menjadi kebiasaan. Siapa yang mempertanyakan sisi positif dari membaca buku? Pasti yang muncul hanya gelengan kepala, karena membaca akan meningkatkan pengetahuan yang akan menjadi modal untuk menghadapi kemajuan zaman dan kehidupan pada umumnya.

Presentasi dan diskusi yang dimaksudkan dalam program WJLRC juga bukan presentasi yang rumit dan sulit, presentasi yang dimaksudkan adalah menyampaikan isi buku atau review dengan menggunakan Teknik Ishikawa Fishbone, Y Chart, dan AIH (Alasan Isi Hikmah) dalam waktu hanya 4 menit saja. Teknik tersebut diatas sebenarnya kurang lebih bisa dimaknai dengan prinsip 5 W 1 H (what, where, when, who, why, How) atau ADIKSIMBA (apa, dimana, kapan, siapa, mengapa dan bagaimana).

Dalam waktu satu bulan, minggu pertama dan kedua siswa membaca dua buku, dan guru perintis membaca satu buku. Minggu ketiga siswa dan guru mempresentasikan hasil pembacaan buku dalam sebuah forum yang dihadiri peserta, guru, orangtua peserta dan siswa-siswi yang tidak mengikuti tantangan membaca. Masing masing siswa hanya diberi kesempatan untuk menyampaikan presentasi isi buku selama 4 menit, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab 2 menit. Sebelumnya Guru perintis akan menyampaikan pendahuluan selama kurang lebih 10 menit saja. Minggu ke 4 guru perintis harus mengupload hasil karya siswa ke website resmi WJLRC Jabar.

Dalam permendikbud 23 tahun 2015 diamanatkan ada pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum KBM. Materi bacaan bisa apa saja selain buku teks pelajaran. Program WJLRC merealisasikannya menjadi kegiatan Readathon, yang merupakan gabungan antara dua kata yaitu read (me8mbaca) dan marathon (lari 42km). Readathon merupakan kegiatan membaca selama 42 menit untuk menggantikan kegiatan 15 menit sebelum KBM jika terasa terlalu sulit dilaksanakan. Readathon tidak  dilaksanakan tiap hari tetapi hanya mengambil kesempatan-kesempatan tertentu saja. Setiap peserta harus membuat rekap hasil membacanya yaitu berapa halaman yang berhasil dibaca selama 42 menit.

Tujuan utama dari gerakan literasi sekolah dan program WJLRC adalah membiasakan membaca, menyukai buku dan mencari intisarinya. Ketika kebiasaan membaca menjelma menjadi budaya baca, maka bangsa Indonesia tidak akan menduduki peringkat yang menyedihkan dalam hal membaca dibanding dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Ketika sebuah program diluncurkan, tentu saja dukungan dari segala pihak amat dibutuhkan. Semua stake holder pendidikan diharapkan bisa memberikan kontribusi aktif dan positif terhadap jalannya program, pun kontrol dan monitoring juga diharapkan efektif sehingga tujuan yang diharapkan bisa tercapai dengan maksimal.

Endang Setiyaningsih
6 Juni 2016



No comments: