Monday, March 23, 2009

Friday, March 20, 2009

Ini tentang anak-anak kembarku lagi. Apakah sudah sewajarnya bahwa anak kembar selalu berantem sehari-harinya?. Aku kadang kadang kewalahan dengan pertengkaran mereka yang tak ada habis-habisnya. Mereka mempunyai banyak teman. Mereka peduli dengan teman-teman mereka. Kalau mempunyai makanan selalu dibagi dengan temannya, kalau dikasi uang jajan selalu dibagi dengan temannya. Tetapi sebaliknya, antar mereka berdua sendiri yang saudara kembar identik, selalu mempertengkarkan sesuatu hal yang menurutku remeh temeh dan sepele.
Kadang aku kewalahan dengan jiwa sosial mereke berdua. Makan di kulkas selalu cepat raib kalau mereka membawa pasukannya ke rumah. Kalau ada es krim di freezer selalu bikin pengumuman bahwa dia punya sesuatu yang bisa dinikmati bersama. Tapi bila sudah berdua, waduh nek......setengah mati cara mengatasinya.
Aku pernah mengalami menjadi anak-anak. Tapi belum pernah mempunyai pengalaman menjadi orangtua. Semua hanya berdasarkan insting dan naluri orangtua saja. Banyak referensi yang aku baca, tetapi rasanya belum cukup untuk menjadi ekspert di bidang pendidikan anak ini. Situs sekolahorangtua.com selalu aku ikuti, bahkan aku berlangganan news letternya. Tapi rasanya aka masih haus banget akan modal kesabaranku untuk menghadapi dua anak kembar hiperaktifku.... hosh.....

Ini dia mereka......

Jumat, 20 Maret 2009

Anak-anakku adalah sebuah dunia asing yang sulit untuk dipahami. Kadang-kadang aku terlalu marah dengan kenakalan konyol mereka. Mengapa begitu sulit mengendalikan emosi ketika berhadapan dengan mereka. Aku sadar betul bahwa teriakan tak akan menyelesaikan masalah, tapi... emosi seringkali berbicara daripada logika. Sulit sekali untuk mengeluarkan kata-kata lembut untuk tingkah yang sangat menuntut kesabaran. Aku kadang kadang merasa terlalu keras mendidik anak-anakku tapi... mudah-mudahan itu berguna untuk mereka. Bahwa apa yang mereka inginkan tak akan selalu dapat dipenuhi... bahwa mereka harus bisa menyelesaikan perbedaan.

Dede..Koko.. Dengarkan mama ingin bicara...
Dede dan koko adalah anak kembar yang lahir dari perut mama. Kalian berdua sama-sama berada di rahim mama selama kurang lebih sembilan bulan. Walaupun kalian kembar, tetapi kalian bukanlah anak yang sama. Dede mempunyai kesukaan sendiri, koko juga mempunyai hobby yang lain dengan hobby yang dimiliki oleh Dede. Koko dan dede dua-duanya adalah anak mama yang mama sayangi. Mama sayang sama koko, mama juga sayang sama Dede. Dede sama Koko tidak perlu bersaing untuk mendapatkan kasih sayang mama. Mama tidak akan pernah membedaka bedakan kalian. Semua akan mendapat cinta mama.
Friday, March 20, 2009

GENERASI GAMANG

Aduh, rasanya sedikit kalut juga dengan permasalahan siswa di sekolahku. Seorang rekan guru, selalu melibatkan aku dalam memproses kasus dan kenakalan siswa. Jadi sedikit banyak aku mengetahui kasus apa saja yang terjadi pada remaja remaja pinggiran Jakarta ini di sekolahku. Dan akhir-akhir ini, kasus yang ada selalu berkaitan dengan siswa putri. Permasalahan dan kasus yang terjadi benar-benar membuatku tercengang-cengang tak habis mengerti. Remaja sekarang sungguh sudah berbeda dengan masa remajaku dulu. Arus informasi dan teknologi benar benar merusak dan menjadikan mereka sosok yang serba tahu hal ha yang dulu dianggap tabu. Internet bak dewa penolong yang maha tahu. Malu bertanya maslah seks pada guru atau ortu, mereka punya internet yang akan menjawab dengan lebih jelas dan tanpa batas. Walhasil,,,Kenakalan semakin meningkat, penyalahgnaan narkoba, minuman beralkohol, pergaulan bebas,dan pelacuran tngkat rendah yang booming di kalangan siswa. Tak hanya satu dua yang menyatakan bahwa dirinya sudah tidak perawan lagi. Semuanya diakui tanpa rasa bersalah dan tanpa ada nampak penyesalan terhadap perbuatan yang sudah dilakukannya. Prostitusi dini yang rela dilakukan hanya demi selembar dua lembar limapuluhan ribu, Astagfirullah.
Kalau direnungkan, aku sedikit bingung dalam menilai mereka. Apakah mereka terlalu bodoh sehingga larut saja dalam arus jaman, atau mereka justeru terlalu pintar sehingga banyak melakukan hal hal yang sebetulnya merugikan mereka sendiri. Bahkan merokok bukan suatu hal yang mengagetkan lagi. Di lingkungan sekolah di larang merokok, tetapi begitu sudah keluar dari lingkungan sekolah, di jalan, di mal, di keramaian, mereka yang berseragam santai mengepulkan asap rokoknya tanpa dosa.
Seorang siswa, gadis, sebut saja namanya Fara, latar belakang orangtua yang tidak mampu ternyata bisa membuat seorang gadis menjadi pribadi yang terlalu cuek dengan lingkungan, cenderung berbuat semaunya, kurang bisa menerima kenyataan. Tak peduli berapa banyak sanksi yang telah dialami. Semua pendekatan psikologi sudah ditempuh, shock terapi dengan skorsing 2 minggu justeru membuat dia merasa bebas, terakhir dia kedapatan sedang minum-minuman keras di belakang sekolah. Astaghfirulah..
Kami benar-benar kebingungan dalam mengambil keputusan. Prosedur resmi sudah cukup untuk mengembalikan anak tersebut ke orangtuanya, Tetapi.. Ujian Nasional kurang 2 bulan lagi. Itu berarti bahwa kelulusan sudah di ambang mata. apakah tidak terlalu kejam apabila kami mendropoutnya? Sementara kesalahannya sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kalau kami mempertahankan dia, demi hati nurani, lalu apa anggapan siswa lain yang mengetahui adanya kasus tersebut. Bukankah hal itu akan membuat mereka beranggapan bahwa sekolah lemah, dan beranggapan bahwa kesalahan fatal seburuk apapun toh akan dimaafkan oleh sekolah sehingga mereka tidak aware lagi dan tidak sungkan untuk melakukan kesalahan yang sama.
Fara, kelihatannya raut wajahnya tak merasa apa-apa ketika kami membina, menasihati, sampai memarahinya. Seolah dia tak punya hati. Menatap dengan kosong, mendengar sambil lalu ocehan para guru. Pernahkah anda bayangkan betapa sakit rasanya ketika anda sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengambil hati, menyentuh hati serta membina anak didik anda? Tetapi yang anda dapat hanya tatapan mata tak ada arti.Yangada anda hanya membuang buang energi. Dan lebih sedih lagi, anak anak sejenis Fara bukan hanya satu, semuanya punya latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang punya latar belakang broken home, single parent, terlalu dimanja, dan terlalu bergelimang harta.
Lalu kami sekolah, sebagai lambaga yang bertugas mendidik dan mempersiapkan mereka unuk bisa melaksanakan tugas perkembangannya? Kelimpungan mencari solusi. Apa yang salah dengan program-program kami? Apakah kami sudah memerlukan psikolog untuk mengatasi anak anak di sekolah yang di kampung ini? Apakah sekolah sudah saatnya mempunyai klinik khusus yang menangani hal-hal yang di luar batas kemampuan kami. Renungan demi renungan berlalu dalam diam. Solusi apa yang bisa kami buat untuk membantu mereka mengatasi pubertasnya yang terasa terlalu berat. Apa yang bisa kami lakukan untuk membantu jiwa-jiwa haus mereka yang rindu mencari jati diri.....
Generasi muda, akan jadi apa Indonesia?
Kalau para pemudanya gamang menatap diri...
Masa depan jauh dari nurani....

Thursday, March 12, 2009

The beggining

Mungkin hanya aku yang merasa tak ada beban ketika membaca Surat Keputusan CPNS di Bumi Makmur Indah di Lembang Bandung kali ini. Bagaimana tidak? Aku sama sekali tidak tahu dimana posisi Kecamatan Parungpanjang. Aku ditempatkan di sebuah sekolah Menengah Pertama di sebuah Kecamatan yang aku tidak tahun posisinya dimana. Tak ada rasa sedih, tak juga rasa riang gembira seperti yang diungkapkan oleh sebagian guru yang baru mendapat SK di perkotaan. Tak juga sedih bahkan menangis seperti pemandangan yang ada di sudut aula ini. Ternyata mereke ditempatkan di sebuah kampung yang jauh di pelosok desa, yang jauh darimana-mana. Dan aku, tak tahu aku harus merasa bagaimana karena aku tidak tahu dimana letak sekolah yang menjadi temapt mengajarku kelak. Yang jelas. Rasa syukur tak pernah lepas aku ucapkan dalam hati. Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah memberi sesuatu yang menjadi keinginan jutaan orang di bumi ini. Walaupun terkenal dengan gajinya yang kecil, PNS masih merupakan dambaan dari sekian banyak pendidik di Indonesia tercinta ini.
Ternyata setelah kami kembali ke dinas kabupaten masing-masing, baru aku tahu bahwa Parungpanjang juga termasuk daerah yang jauh dari jangkauan kota kabupaten. Tapi tetap tak mengapa karena bagiku mengajar dimanapun sama saja. Walaupun menjadi guru adalah bukan cita-citaku, tapi terbukti aku bisa mencintai pekerjaan ini. Dan sekarang berarti telah tiba saatnya aku harus mengabdi dan menunjukkan dedikasiku. Untuk siapa lagi kalau bukan untuk calon murid-muridku. Parungpanjang, here I come.....
Dari Depok, aku harus menempuh perjalanan sejauh kurang lebih 100 kilometer. Naik angkot dulu menuju Parung, kemudian berganti Bus Jurusan Tangerang dan turun di stasiun Serpong, kemudian naik kereta jurusan Rangkas Bitung dan baru kemudian turun di Stasiun Parungpanjang. Tadinya aku merasa perjalananku sudah selesai, ternyata SMP 2 parungpanjang bukan berada di kota kecamatan, tapi nun jauh di dalam perkampungan yang kurang lebih 10 km dari kota kecamatan.
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam barulah aku sampai di sebuah sekolah yang berada di tengah-tengah padang gersang. Tak ada pepohonan yang besar dan rindang, hanya ada rumpun-rumpun perdu yang tumbuh segan mati tak mau. Aku menatap dengan penuh takzim. Akan berapa lama aku berada di sekolah ini? Akan seperti apa aku menggoreskan sejarah di Unit Gedung baru ini.
Hingga sekarang, dua tahun aku disini. Semua masih sama seperti dulu ketika aku datang. Hanya perubahan-perubahan kecil yang terjadi. Begitu juga siswa siswa di sini. Makin hari makin aku merasa menemui kesulitan dalam mengajar di kelas. Walaupun aku menganngapnya sebagi tantangan, tapi aku merasa seolah-olah tak berhasil memuat perubahan. Latar belakang orang tua yang berpendidikan rendah membuat semakin terpuruk aku merasa manahan beban. Aku selalu berusaha menjadi terbaik di segala sesuatu yang aku kerjakan. Berbagai cara sudah aku lakukan untuk menarik siswa supaya mempunyai minat belajar yang tinggi. Berbagai inovasi sengaja aku cari-cari supaya aku bisa menjadi seorang guru yang mencerahkan.
Anehnya, aku tak melihat semangat yang sama dengan rekan-rekan kerjaku. Semuanya seolah tidak mau peduli dengan kedaan siswa. Seolah mengajar hanya berguna untuk menggugurkan kewajiban saja. Mereka tak perduli hasil yang dicapai siswa. Bahkan sampai dimana daya serap siswa pun seolah tang mereka pedulikan. Yang muncul hanya keluhan-keluhan tanpa solusi. Bahwa murid-murid sulit diatur, di kelas maunya tidur, entering behaviornya minus, fasilitas sekolah kurang dan sebagainya. Semua permasalahan muncul dan hanya menjadi keluhan formalitas yang akan segera terlupa waktu. Rata-rata dari mereka sudah pasrah menerima keadaan. Mungkin sudah terlalu lelah menempuh perjalanan dari rumah ke sekolah. Banyak di antara mereka yang harus menempuh tiga jam perjalanan yang melelahkan. Belum lagi harus berjubel naik kereta jurusan Rangkasbitung yang kondisinya sudah tidak layak lagi untuk angkutan umum sebenarnya. Tapi sekali lagi itulah Indonesia.
Tak ada yang berusaha mencari solusi. Batu loncatan, itu istilah mereka. Mereka hanya menunggu waktu untuk bisa dipindahkan ke sekoleh yang dekat dengan rumah mereka. Aku tidak menyalahkan mereka. Mereka diangkat menjadi Pegawai Negeri dalam keadaan sudah berumahtangga, punya suami dan temapt tinggal tetap. Jadi, mau tak mau harus mereka jalani pekerjaan mendidik ini walau hanya menggunakan sisw-sisa tenaga mereka yang sudah terkuras habis di perjalanan. Jadi, yang penting hadir di kelas, mengajar dan kalau sudah habis waktunya keluar kelas, tanpa beban yang menghimpit di kepala. Sejauh mana teknik pengajarannya yang digunakanya berhasil dicapai. Bagaimana agar siswa tertarik dengan pembelajaran di kelas, bagaimana menorganisasi semua perlatan seadanya menjadi satu orkestra indah yang bergaung di seluruh kelas. Hanya mimpi di siang bolong.
Kadang-kadang aku terhanyut dengan pasrahya mereka menghadapi keadaan. Tapi aku selalu berusaha untuk bangkit, paling tidak membangkitkan semangatku untuk menjadi agen pembelajaran yang berhasil. Aku sibuk membaca dan mencari-cari di internet tentang tip dan trik pembelajaran seperti apa yang bisa diterapkan di kondisi dan suasana seperti di sekolah yang aku ajar ini. Aku selalu memikirkan dengan cermat skenario pembelajaran yang akan aku laksanakan di kelas. Aku slalu menggabung metode pembelajaran yang selama ini aku banyak baca dari buku. Untuk permasalahan materi ajar, aku tak pernah merasa kesulitan, karena aku rajin ke warnet yang hanya satu-satunya di kota kecamatan. Itupun mempunyai kemampuan loading yang memprihatinkan. Tapii cukuplah, daripada tidak sama sekali.
Kadang-kadang aku menemukan kepuasan yang tak terkira ketika menyelesaikan sebuah kelas. Aku merasa mata-mata mereka penuh ceria mengikuti instruksi proses pembelajaran yang aku lakukan. Senyuman, acungan jari, tepuk tangan dan tanggapan antusias membuat aku seolah-olah aku mau meninggalkan kelas. Kalau sudah seperti itu ingin rasanya aku teriak sekeras-kerasnya. Aku berhasil melakukan proses KBM yang memuaskan. Kemudian akan dengan sangat ceria aku menceritakannya di sebuah buku harian.
Namun tak jarang aku merasa kecewa bukan kepalang atas hasil pengajaran yang aku temukan. Seolah-olah rencana yang telah aku buat dengan matang gagal total entah kerana apa aku tak menemukan jawabannya. Kondisi siswa yang berbeda dan suasana yang kurang mendukung, atau bagaimana kadang aku menemukan jawaban dari kegagalanku, tapi kadang juga tak kutemukan sama sekali apa penyebab dari kegagalanku.
Kesabaran. Salah satu kata yang aku pegang teguh dari pertama dulu aku mulai mengajar. Pertama kali aku mulai benar-benar mengajar aku cenderung galak dan penuh permusuhan ke siswa. Apabila ada siswa yang bertingkah sedikit saja, itu sanggup membuat aku mengomel di kelas untuk waktu yang lama. Aku merasa posisiku waktu itu adalah sebagai penguasa kelas. Jadi siswa harus mematuhi perintahku. Aku menganggap mereka meremehkan dan menghina aku apabila mereka bercanda di kelas. Jadi Pengelolaan kelasku waktu itu mungkin hanya dipenuhi oleh ketenangan palsu yang aku buat karena rasa gentar siswa terhadap ketegasan dan kegalakannku.
Namun waktu yang mengatasi segalanya. Rasa arif dan sabar mulai muncul sedikit demi sedikit. Siswa tak lagi aku anggap sebagai anak-anak yang harus aku tundukkan. Tetapi mereka hanya makhluk-makhluk remaja yang sedang menempuh proses pendewasaan. Kadang aku memposisikan diriku sebagai kakak, Ibu, Ayah, dan tak jarang aku memnempatkan posisiku selevel dengan mereka. Sehingga aku benar-benar tahu apa yang mereka inginkan. Aku berusaha menonton apa yang mereka tonton, aku berusaha mengikuti perkembangan bahasa gaul yang mereka suka. Aku memanggil mereka dengan nama nama kesukaan mereka, bahkan kadang aku lupa siapa nama nama sebenarnya dari mereka. Rata rata dari siswa siswaku memakai nama gaul, ada yang black, begeng, alay, ciprot dan sebagainya. Aku berusaha masuk ke dalam dunia mereka