Saturday, February 28, 2009

ATAS NAMA PENDIDIKAN
ANAKKU TERDEPAK DARI YAYASAN PENDIDIKAN QURANI

Membaca Laskar Pelanginya Andrea Hirata mengingatkan rasa sakit hatiku pada sebuah sekolah yang mengaku beryayasan Islam yang ada di daerahku. Pengabdian seorang guru yang digambarkan dengan begitu mulia oleh Andrea tak satupun menjadi indikator cerminan sebuah pendidikan TK yang dengan kejam mendepak anak anak kembarku dari sekolahnya dengan alasan demi pendidikan. Alasan yang muncul dari sang kepala sekolah hanya pemanis bibir yang tak bermutu dan semakin menambah buruk citranya di depan seorang wali murid seperti aku.
Betapa terkejutnya aku dan suamiku ketika mendengar keputusan “sekolah” yang disampaikan oleh Ibu kepala sekolah berjilbab itu. Kembar kami terlalu banyak aktivitas fisik sehingga berpengaruh buruk terhadap anak anak lain. Guru tidak bisa mengontrol yang lain apabila kembar terus berada di kelas mereka. Maka di akhir tahun pelajaran pertama, yang seharusnya anakku meningkat statusnya menjadi kelas B, dengan tak berperipendidikan mereka berharap dengan halus, kami memindahkan mereka ke TK yang lain. Anakku dianggap monster atau virus mematikan yang akan menjalari siswa lain yang ada di kelasnya. Ibarat seorang berpenyakit aids dan kusta yang harus diisolasi dari komunitas belajar yang bernama Taman Kanak-Kanak.
Atas nama pendidikan yang bagaimana, apabila kelincahan dan kecerdasan dianggap sesuatu yang tak tertahankan untuk dihadapi oleh seorang guru. Keangkuhan dan kemalasan yang tak mau menghadapi tantangan profesi. Solusi yang mereka ambil adalah solusi pengecut yang yang lari dari masalah, bukannya memecahkan masalah.
Menyakitkan memang, tapi buat apa aku berdebat dengan orang yang terlalu sok pintar, menganggap diri pakar dalam menghadapi anak kecil, tapi dengan alasan tega men DO kedua anak kembarku. Ya. Apalagi namanya kalau bukan itu. Kata-katanya masih terngiang-ngiang di telingaku “ anak-anak saya dari kecil sudah saya ajarin menjadi anak-anak yang nurut sehingga mereka tidak menjadi liar dan salah asuh, Mereka bisa menyesuaikan dengan aturan main yang saya buat di keluarga saya, Tak pernah ada keributan yang berarti di rumah karena mereka saya didik dengan baik”.
Kalimat-kalimatnya tersebut jelas ingin mencitrakan bahwa dia adalah seorang ibu dan pendidik yang berhasil membuat anak-anaknya patuh terhadap semua perintahnya. Dan jelas ingin menyampaikan pesan tersembunyi untukku kalau aku tak sanggup mengatur anak-anakku. Aku berpikir apakah sebagai seorang guru dia tidak mempelajari psikologi pendidikan dan Ilmu perkembangan peserta didik.
Setiap individu adalah pribadi unik yang diciptakan oleh Allah secara khas dan special dan berbeda dengan orang lain, bahkan kembar identik sekalipun. Bukan salah anakku kalau mereka tiap hari membongkar-bongkar meja kerja sang guru, menaiki rak buku untuk mengambil buku yang berposisi di rak yang paling atas, menumpahkan air minum di gallon, berlari-lari ke sana kemari, Bukan salah mereka kalau energi mereka meletup-letup penuh vitalitas tanpa rasa capek. Tak ada satu bendapun yang luput dari perhatiannya. Semua ingin disentuh, semua ingin diamati, apa ini, apa itu, sebuah kewajaran yang dimiliki oleh anak usia 4 tahun.

Aku memandangi kedua jagoan kembarku yang sedang bermain rumah-rumahan dengan menggunakan karpet plastic kau yang jika digulung akan bisa berdiri tegak dengan menyisakan lubang ditengahnya sehingga keduanya masuk sambil tertawa-tawa. Berdesakan di dalamnya sambil tertawa-tawa tetapi juga diselingi dengan saling dorong karena merasa kurang leluasa bergerak. Begitu mudahnya mereka berkelahi lalu kemudian berbaikan. Keduanya bertukar setiap detik tanpa peduli dengan pandanganku yang terpana dengan tingkah laku anak-anakku itu.
Setiap hari aku menghadapi mereka, merayu mereka, membentak meraka dan sesekali memukul mereka karena kesalahan-kesalahan yang aku rasa tidak bisa ditolerir lagi. Tapi tentu saja pukulan keras yang aku ikuti dengan linangan airmata yang tak terbendung karena menyesal telah menyakiti buah hatiku itu. Setiap hari mereka mengaduk aduk perasaanku, bertukar antara marah yang tiada tara dengan haru yang luar biasa.
Anakku termasuk luar biasa menurut penilaianku. Luar biasa dalam arti tidak seperti lazimnya anak-anak kecil lain yang malu-malu apabila berkunjung ke tempat yang baru. Bersembunyi di belakang orangtuanya apabila bertemu atau kenalan dengan orang baru. Hal seperti itu tak pernah terjadi pada kedua anakku. Mereka terlalu berani dan tak pernah memiliki rasa takut pada siapapun.
Anakku adalah kurawa-kurawa kecil yang membutuhkan kesabaran yang tanpa batas ketika harus menghadapinya. Istilah kurawa dipakai oleh ayahnya karena tingkah mereka yang cenderung membuat masalah atau berantakan. Aktivitas fisik yang tak pernah mengenal lelah. Selalu bergerak , ingin menyentuh segala sesuatu yang aneh baru atau yang menurut mereka perlu untuk dikorek dan diacak-acak. Tak ada satu bendapun di rumahku yang lepas dari tangan usil mereka berdua. Sofa yang belum terlalu lama kubeli sudah terlihat seperti bertahun-tahun karena sobek di sana sini karena ditusuk pake obeng maupun garpu. Kusen pintu dan jendela mereka pukul-pukul memakai batu atau pisau yang kebetulan mereka dapatkan karena kelengahanku atau kelengahan pembantuku dalam mengawasi mereka, Kaca lemari TV lepas dari engselnya, Kaca pelapis meja tamu pecah kerana mereka angkat berdua dan jatuh berserakan di lantai.
Semua aku hadapi setiap hari, kadang lelah dan menitikkan airmata karena kenakalan kecil yang dilakukan mereka berdua. Kadang tertawa geli mendengar pertanyaan-pertanyaan mereka yang menggelitik. Rasa syukur pada Tuhan akan kepercayaan yang begitu besar telah mempercayakan padaku untuk memelihara dua makhluk kecil yang lincahnya luar biasa. Rasa lelah yang penuh aduan kadang meluncur dalam genangan airmata doa memohon kesabaran dalam menghadapi semua kenakalan yang ada pada anakku.
Walaupun TK mu mendepakmu, anak-anakku, tapi yakinlah kalian masih punya mama. Yang tak akan pernah meninggalkan kalian dalam kondisi apapun. Kalian yang membuat mata mama bersinar dan becahaya walau kadang dalam genangan air mata.
RAHASIA ILLAHI

Tuhan maha Bijak yang menyimpan segala macam rahasia. Tuhan maha sempurna sehingga secanggih apapun teknologi yang ada dan dikuasai oleh manusia tak akan mampu menilai, memprediksi, menganalisis tanpa izin dariNya. Rahasia Illahi benar-benar aku alami ketika aku pertama kali dikaruniai titipannya. Sembilan bulan aku mengandung bayi di rahimku, membawanya dalam setiap gerak, langkah bahkan setiap tarikan nafasku. Mengeceknya ke dokter dengan USG ketika usia kandungan 2,5 bulan dan secara rutin aku memeriksakannya ke bidan untuk memantau perkembangan janin yang ada di perutku.
Allah merahasiakan bahwa aku akan melahirkan anak kembar hingga detik terakhir dokter bedah itu melakukan sectio atas persalinanku yang tidak bisa dilakukan dengan normal. Allah memberikan kejutan yang tak pernah sekalipun terbayang di benakku sebelumnya. Allah telah membuktikan begitu kuasaNya, Begitu Maha TahuNya takkan akan pernah tersaingi oleh makhluk apapun di dunia ini.
Masih dalam pengaruh obat bius, aku mendengar suara bisikan dokter mengatakan bahwa bayiku kembar lelaki dan normal.
Aku menangis, ketika mengetahui bahwa suamiku menangis ketika melihat kedua bocah kembarku dalam balutan selimut putih. Ketakjuban itu membuatnya marah sekaligus bahagia karena menerima dua anak lelaki kembar yang normal, mungil, putih dan berat badan normal selayaknya bayi normal. Dalam cerita selanjutkan suamiku mengatakan padaku bahwa dia marah karena aku keukeuh tak mau diajak USG di bulan terakhir kehamilanku. Memang dia megajakku berulang kali untuk melakukan USG ketika kami pulang ke rumah orangtuaku untuk persalinanku. Tapi aku tidak mau, karena aku pikir, buat apa USG, sementara persalinan tinggal menunggu hari.
Bulan ke sembilan kehamilanku merupakan bulan terberat yang aku alami. Berat badanku sudah bertambah 20 kg dari berat normalku sebelumnya. Aku sudah tak bisa lagi ruku dan sujud karena ukuran perutku yang besar. Aku melakukan sujudku, perwujudan imanku denagn duduk di kursi plastic yang ada sandarannya. Bahkan dalam tidurpun aku tak sanggup bergerak. Hanya terlentang dan tak bisa bangun tanpa pertolongan suamiku. Aku tak bisa mengubah posisi miring tanpa bantuan suamiku untuk menggulingkan aku ke kiri atau ke kanan. Tapi aku menjalaninya dengan ikhlas tanpa penuh tanya apakah kehamilan orang lain juga seberat kehamilanku.
Akhirnya aku menemui kerinduanku yang terbayang setiap malam-malam yang panas. Di Jumat pagi dini hari, aku melihat ada flek merah kental keluar dari rahimku. Rasa lega seakan mau menerima hadiah mahal menghalangi aku merasakan sakit yang mulai timbul dan tenggelam. Pagi-pagi aku minta suamiku untuk mengantarkan aku ke bidan untuk melahirkan. Setelah melihat pembukaan sudah berapa senti, ternyata bidan masih membolehkan kami pulang karena baru pembukaan satu katanya. Dan kami dipersilahkan kembali ke klinik bersalin jam 1 siang.
Dalam rasa sakit yang mendera di rahimku karena kontraksi semakin sering terjadi, suamiku dengan setia memegangi tanganku, mengipasiku, mengelus dan mencoba bersimpati karena tak bisa berbuat apa apa untuk mengurangi rasa sakitku. Ya rabb, begini sakit yang dirasakan oleh seorang ibu ketika menanti kelahiran anakknya. Aku tak banyak mengeluarkan suara ketika menahan sakit, aku hanya sesekali berdesis di sela istighfar yang selalu diingatkan oleh ibuku untukku aku ucapkan.
Ibu, betapa engkau diciptakan sebagai makhluk mulia yang bertugas untuk meneruskan keturanan insan. Berjuang antara hidup dan mati, rasa sakit itu terus ada pada hingga jam satu malam. Keluargaku mulai khawatir, karena waktu sudah cukup lama untuk proses persalinan normal. Detik-detik berlalu sangat lamban. Penantian tiada akhir disertaii rasa sakit yang berkepanjangan. Ternyata begini rasanya dulu ibuku melahirkan aku. Sebuah pengorbanan yang tak bakal selesai dibayar oleh apapun yang bernilai di dunia ini
Pengorbanan seorang ibu adalah seteguk air di gurun sahara, setetes embun di padang nan gersang, sebuah kehidupan yang dimulai dengan peristiwa yang dekat dengan kebalikannya, yaitu kematian. Seorang ibu yang akan melahirkan seperti orang yang akan memberikan kematiannya demi kehidupan anaknya. Ibu, maafkan aku jika aku belum menyadari betapa cintamu padaku sampai detik aku merasakan kontraksi rahim yang lama dan berkesudahan. Maafkan aku jika selama ini aku ragu dalam ketidaktahuan dan rendahnya kontemplasi diri akan makna sakitnya perjuangan ibu dalam melahirkan aku.
Perlahan airmataku mengalir. Telah sebandingkah baktiku pada ibu dengan semua pengorbanannya? Telah impaskah hutang kehidupan yang diberikan oleh ibuku?. Rasanya tak akan pernah. Seperti gelandangan yang harus membayar hutang Negara yang bahkan dia sendiri belum pernah bias membayangkan angkanya karena terlalu besar dan jauh dari jangkauan logikanya. Seperti hutang seorang miskin pada rentenir yang bukannya semakin mendekati lunas tetapi malah semakin membumbung tinggi karena bunganya yang setiap hari menjadi semakin berlipat ganda. Oh ibu, Ingin rasanya bersujud di kakimu, membasuhnya dengan airmataku, sebagai permohonan maaf atas ketololanku sepanjang usiaku. Ibu,…. Rasanya Aku … Aku membuka mataku ingin melihat ibu yang berdiri di samping tempat tidurku. Dalam genangan airmata aku menatap kabur wajah ibu yang terlalu mengkhawatirkan aku, Aku hanya menraih tangannya lemah dalam sakitku… Ibu.. hanya itu yang berhasil terucap lirih dari mulutku……Padahal ribuan kata siap mengalir dari mulutku. Aku ingin menjelaskan betapa aku merasa telah berbuat salah yang terlalu banyak yang tak semestinya selama ini. Betapa menyesalnya aku telah membuatmu cemas dan khawatir… tapi semua tercekat di tenggorokan, tenggelam dalam desisan rasa sakit yang seolah tak tertanggungkan. Mungkin, karena kebodohanku, aku harus merasakan sakitnya kontraksi persalinan dulu untuk menyadari makna seorang ibu untukku. Alangkah naifnya aku.
Sudah 7 jam aku mengalami kontraksi, tapi tanda tanda pembukaan tak juga mengalami kemajuan. Bidan memeriksa berkali-kali dan jawabannya sama, tetap pembukaan 4. Tak lebih dan tak bertambah. Malam semakin kelam dan beranjak menuju pagi. Aku masih tergolek lemah di kamar bersalin dengan suami yang tak pernah melepaskan genggaman tanganku. Ia seperti ingin mengalirkan tenaga dan semangatnya untukku. Ia tak banyak bicara, tak ada selera humornya yang selama ini ada. Aku tak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Yang aku tahu adalah dia berada dekat di bibir ranjang, berdiri, mengenggam tangganku, mengelus perutku, mengipasiku supaya tidak kegerahan dan gerakan-gerakan kecil yang ragu karena kebingungan tak tahu apa yang harus dilakukan
Tepat jam 2 pagi, aku merasa air ketubanku sudah pecah. Menurut mereka yang pernah melahirkan, pecahnya air ketuban adalah tanda bahwa bayi akan segera mengajak ibunya untuk bersama sama berjuang melanjutkan kehidupan.
Tetapi yang terjadi padaku adalah kebalikannya. Justru setelah pecah ketuban, aku tak lagi merasakan sakit. Kontraksi tak ada lagi. Malah aku, suami, dan bidan yang akan membantu persalinanku membicarakan kemungkinan medis yang harus ditempuh apabila sampai waktu yang bisa ditoleransi bayi untuk bisa di dalam rahim setelah air ketuban pecah. Bidan tersebut mengatakan bahwa sampai jam enam pagi, apabila masih juga tak terjadi kontraksi, maka aku harus dibawa ke rumah sakit. Akhirnya kami bertanya kepada bidan tersebut rumah sakit mana yang cukup bagus untuk melakukan operasi Caesar di kota Solo.
Selama berjam-jam bidan tersebut mengecek perkembangan proses persalinanku, Tuhan tak juga memberitahukan bidan senior yang dulu turut membantu persalinan ibuku dalam melahirkan aku itu bahwa aku mengandung bayi kembar. Alat deteksi detak jantung bayi juga tak sanggup memberikan cukup petunjuk untuk bidan itu bahwa ada dua janin yang sedang berpelukan dalam rahimku.
Kami hanya mempersiapkan satu nama untuk bayi kami. Karena rasa excited dan sensasi masa hamil dulu dalam mencari nama bayi, sekarng sudah tidak ada lagi, semua bertukar dengan rasa bahagia, rasa syukur, rasa tak percaya, bahwa sudah ada dua mungil bayi yang akan meneruskan keturunan kami. Kebingungan membuat aku dan suami membuat kami mengambil jalan yang cepat. Mengubah satu vocal kedua dari nama yang sudah kami tentukan sebagai pembeda. That,s it. Rayhan Numa Shaquille Then dan Rayhan Numa Shaquille Then.
Telah lahir ke dunia, si kembar identik Ray dan Rey. Wajahnya mereka sama persis tak ada beda, Tuhan memberikan tanda tahi lalat di leher untuk Rey. Selebihnya tak ada yang bisa menebak mana Rey dan mana Ray, kalau tak melihat dulu tahi lalat yang menjadi pembeda keduanya. Subhanallah………………………