Pertemuan Terakhir
Cerpen by endset
Hari ini tes SWAB menunjukkan bahwa aku positif covid-19. Sebagai dokter ahli aku merasa bahwa aku tak akan sanggup bertahan lagi mengingat riwayat penyakit yang kumiliki. Dua minggu terakhir aku sengaja tidak pulang ke rumah karena aku takut membawa virus ke rumah setelah sehari-hari menghabiskan waktu untuk merawat pasien covid-19. Aku hanya bisa sesekali video call dengan anak-anak dan istriku. Setiap kali melihat mereka di layar hp, ada rasa berdesir di dada. Sedih harus meninggalkan mereka bertugas di rumah sakit ketika semua orang bersama-sama menikmati waktu di rumah karena kebijakan stay at home diterapkan di Indonesia.
Aku masih gemetar menatap hasil SWAB. Terbayang wajah keluarga kecilku satu demi satu, istriku yang sekarang mengandung 7 bulan, anak sulungku yang baru berusia 7 tahun, dan adiknya yg baru menginjak 5 tahun bulan ini. Akankah penantian mereka tak akan berujung? Harapan ayahnya pulang hanyakah tinggal kenangan? Tuhan, kalau boleh aku meminta, jangan sekarang kau ambil nyawaku. Mereka masih sangat membutuhkanku. Namun, dari satu sisi keahlianku, aku tahu bahwa mungkin tubuh dan penyakitku yang sudah ada di dalamnya, tak akam sanggup melawan covid-19 ini.
Setelah airmataku habis, air mata seorang lelaki yang jarang menangis, aku galau harus dengan kalimat apa aku memberitahu istriku tentang ini. Dia pasti sangat terpukul, apalagi aku takut terjadi apa2 dengan janin yang dikandungnya ketika mendengar berita buruk ini.
Setelah memohon pada pihak rumah sakit, aku diizinkan untuk pulang sebentar menengok mereka walaupun dari kejauhan. Aku menyuruh istriku dan anak anak untuk berdiri di teras rumah, dan membuka pintu gerbang supaya bisa melihat ke arahku nanti. Aku diantar oleh petugas medis dari rumah sakit dengan pakaian APD lengkap dan aku hanya diizinkan untuk keluar dan berdiri di dekat mobil.
Perjalanan dari rumah sakit ke rumah terasa begitu lama padahal hanya 5 km saja, tetapi air mata tak henti mengalir walau tanpa suara. Ya, aku.menangis dalam diam. Begini rasanya ketika kita mengetahui waktu perkiraan kematian kita sendiri. Aku demam tinggi tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Aku ingin melihat mereka untuk yang terakhir kalinya. Jika memang benar Tuhan mengambil nyawa dengan perantara virus ini, setidaknya aku bisa melihat mereka untuk yang terakhir kali. Sementara mereka tak akan bisa melepas kepergianku karena protokoler kesehatan yg diterapkan pada jenazah pasien yang terkena covid-19. Tuhan, maafkan aku jika aku terlalu sombong karena merasa tahu dan yakin bahwa tubuhku pasti menyerah pada virus ini.
Mobil yang membawaku memasuki gerbang perumahan. Beberapa menit aku akan melihat wajah mereka yang cerah karena mereka sengaja tidak kuberitahu mengenai keadaanku yang sebenarnya.
Aku melangkah turun dari mobil dan melihat gerbang rumah sudah terbuka lebar. Jarak dari gerbang sampai teras ada 5 meter. Aku melihat istriku disana, dengan perutnya yang membesar, sambil memegang erat lengan dua anakku. Satu di sebelah kanan dan satu lagi di sebelah kiri. Kelihatan si bungsu berontak mau melepaskan diri dan ingin menuju ke arahku, tapi istriku memegang erat2 kedua lengan anak-anakku. Aku sudah memperingatkannya melalui telpon bahwa dia hanya perlu berdiri di sana sama anak-anakku.
Aku mengangkat hp dan menelponnya.
"Bunda, assalamualaikum"
Beberapa detik tak ada jawaban. Dari kejauhan kulihat wajahmu pucat. Beberapa saat kemudian suara seraknya menjawab salamku. Aku tercekat.
"Ayah sayang sama kalian semua. Maafkan semua kesalahan ayah"
Suara tangisnya pecah. Dia terisak-isak sambil memeluk erat kedua anak kami. Dia jatuh terduduk, sementara anakku ikut menangis sambil berusaha melepaskan diri dari genggaman istriku. Mereka berteriak, "Ayah, Ayah",
"Jaga bunda ya Fadly", aku berteriak menyebut nama anak sulungku.
"Jaga adik-adikmu. Maafkan ayah harus kembali".
Aku melambaikan tangan. Menutup telpon, dan kembali masuk ke mobil. Sedetik setelah mobil berjalan, aku menangis keras tak terelakkan. Aku sesak nafas hebat dan hanya gelap yang kurasa. Tuhan, mungkinkah inj saatnya?
#ujian kenaikan kelas
#sekolah menulis Indonesia
Cerpen by endset
Hari ini tes SWAB menunjukkan bahwa aku positif covid-19. Sebagai dokter ahli aku merasa bahwa aku tak akan sanggup bertahan lagi mengingat riwayat penyakit yang kumiliki. Dua minggu terakhir aku sengaja tidak pulang ke rumah karena aku takut membawa virus ke rumah setelah sehari-hari menghabiskan waktu untuk merawat pasien covid-19. Aku hanya bisa sesekali video call dengan anak-anak dan istriku. Setiap kali melihat mereka di layar hp, ada rasa berdesir di dada. Sedih harus meninggalkan mereka bertugas di rumah sakit ketika semua orang bersama-sama menikmati waktu di rumah karena kebijakan stay at home diterapkan di Indonesia.
Aku masih gemetar menatap hasil SWAB. Terbayang wajah keluarga kecilku satu demi satu, istriku yang sekarang mengandung 7 bulan, anak sulungku yang baru berusia 7 tahun, dan adiknya yg baru menginjak 5 tahun bulan ini. Akankah penantian mereka tak akan berujung? Harapan ayahnya pulang hanyakah tinggal kenangan? Tuhan, kalau boleh aku meminta, jangan sekarang kau ambil nyawaku. Mereka masih sangat membutuhkanku. Namun, dari satu sisi keahlianku, aku tahu bahwa mungkin tubuh dan penyakitku yang sudah ada di dalamnya, tak akam sanggup melawan covid-19 ini.
Setelah airmataku habis, air mata seorang lelaki yang jarang menangis, aku galau harus dengan kalimat apa aku memberitahu istriku tentang ini. Dia pasti sangat terpukul, apalagi aku takut terjadi apa2 dengan janin yang dikandungnya ketika mendengar berita buruk ini.
Setelah memohon pada pihak rumah sakit, aku diizinkan untuk pulang sebentar menengok mereka walaupun dari kejauhan. Aku menyuruh istriku dan anak anak untuk berdiri di teras rumah, dan membuka pintu gerbang supaya bisa melihat ke arahku nanti. Aku diantar oleh petugas medis dari rumah sakit dengan pakaian APD lengkap dan aku hanya diizinkan untuk keluar dan berdiri di dekat mobil.
Perjalanan dari rumah sakit ke rumah terasa begitu lama padahal hanya 5 km saja, tetapi air mata tak henti mengalir walau tanpa suara. Ya, aku.menangis dalam diam. Begini rasanya ketika kita mengetahui waktu perkiraan kematian kita sendiri. Aku demam tinggi tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Aku ingin melihat mereka untuk yang terakhir kalinya. Jika memang benar Tuhan mengambil nyawa dengan perantara virus ini, setidaknya aku bisa melihat mereka untuk yang terakhir kali. Sementara mereka tak akan bisa melepas kepergianku karena protokoler kesehatan yg diterapkan pada jenazah pasien yang terkena covid-19. Tuhan, maafkan aku jika aku terlalu sombong karena merasa tahu dan yakin bahwa tubuhku pasti menyerah pada virus ini.
Mobil yang membawaku memasuki gerbang perumahan. Beberapa menit aku akan melihat wajah mereka yang cerah karena mereka sengaja tidak kuberitahu mengenai keadaanku yang sebenarnya.
Aku melangkah turun dari mobil dan melihat gerbang rumah sudah terbuka lebar. Jarak dari gerbang sampai teras ada 5 meter. Aku melihat istriku disana, dengan perutnya yang membesar, sambil memegang erat lengan dua anakku. Satu di sebelah kanan dan satu lagi di sebelah kiri. Kelihatan si bungsu berontak mau melepaskan diri dan ingin menuju ke arahku, tapi istriku memegang erat2 kedua lengan anak-anakku. Aku sudah memperingatkannya melalui telpon bahwa dia hanya perlu berdiri di sana sama anak-anakku.
Aku mengangkat hp dan menelponnya.
"Bunda, assalamualaikum"
Beberapa detik tak ada jawaban. Dari kejauhan kulihat wajahmu pucat. Beberapa saat kemudian suara seraknya menjawab salamku. Aku tercekat.
"Ayah sayang sama kalian semua. Maafkan semua kesalahan ayah"
Suara tangisnya pecah. Dia terisak-isak sambil memeluk erat kedua anak kami. Dia jatuh terduduk, sementara anakku ikut menangis sambil berusaha melepaskan diri dari genggaman istriku. Mereka berteriak, "Ayah, Ayah",
"Jaga bunda ya Fadly", aku berteriak menyebut nama anak sulungku.
"Jaga adik-adikmu. Maafkan ayah harus kembali".
Aku melambaikan tangan. Menutup telpon, dan kembali masuk ke mobil. Sedetik setelah mobil berjalan, aku menangis keras tak terelakkan. Aku sesak nafas hebat dan hanya gelap yang kurasa. Tuhan, mungkinkah inj saatnya?
#ujian kenaikan kelas
#sekolah menulis Indonesia